16 September 2008

Hadratusy Syaikh Abdul Djalil Mustaqim

Syaikh Djalil sangat sarat dengan kesejatian seorang Sufi. Beliau selalu akrab menyambut tamu-tamunya, tutur katanya halus dan santun, disertai senyum yang menyejukkan. Hampir setiap hari beliau menerima tamu, tak pernah tampak lelah pada raut mukanya. Setiap kali beliau memasuki ruangan yang terletak tak jauh dari rumahnya, puluhan tamu serentak berdiri menghormati sembari berebut ingin menyalaminya.

"Jadi Sufi itu harus banyak senyum. Dan jangan merasa terbebani persoalan-persoalan berat." Katanya.

Beliau lahir di Tulungagung 20 juni 1943. Putra dari Syaikh Mustaqim Husain yang juga seorang mursyid dan seorang pejuang kemerdekaan. Sejak masa kanak-kanak, beliau belajar agama pada Ayahandanya sendiri. Begitu lulus Sekolah Rakyat, beliau merobek ijazahnya, dan membuangnya ke sungai. Ayahnya kaget, lalu menegurnya. "Bah, ijazah kan benda mati yang tidak bakal dibawa ke liang kubur." Kata Syaikh Djalil kecil saat itu.

Sejak itu, beliau bertekad menuntut ilmu agama dari pesantren ke pesantren. Beliau pernah nyantri di pondok Pesantren Mojosari, Desa Loceret, Nganjuk-Jatim (1959-1970), kemudian di Ponpes Ploso, Desa Mojo, Kediri-Jatim. Tekadnya yang besar untuk menuntut ilmu, mendorongnya mengembara dari pesantren ke pesantren di seluruh Jawa, walaupun hanya mampir satu dua hari atau sampai dua minggu. Bisa dipahami jika beliau punya banyak guru. Ada kejadian lucu ketika beliau suatu saat berguru kepada seorang Kyai. kawan-kawannya sering memanggilnya 'Mbah' karena perilaku dan sikapnya sudah seperti orang tua.

Pernah suatu ketika ada seorang pelacur menemuinya, minta doa agar 'Bisnis' nya laris. Dengan baik Kyai Djalil menerima tamu istimewa itu seperti beliau menerima tamu-tamu yang lain. "Dia datang minta doa penglaris, ya.. saya beri," Katanya enteng. Tapi tentu saja doa sang Sufi bukan sembarang doa, apa yang terjadi setelah itu? Beberapa hari kemudian perempuan itu datang lagi sambil menangis, perempuan itu bertobat.

Kyai Djalil punya hobi bersedekah. "Ayah saya sangat memanjakan anak-anaknya (7 anak; 4 putra, 3 putri). Dulu beliau sangat sengsara mencari makan (profesi Mbah Mustaqim adalah tukang Sol sepatu). Karena itu beliau berpesan supaya anak-anaknya harus suka bersedekah, karena sedekah merupakan bagian salah satu cara untuk keluar dari kesengsaraan." Tuturnya. Maka, baginya bersedekah merupakan bagian dari Tirakat, sebuah upaya untuk memenangkan perang batin antara kehendak menyimpan benda (untuk diri sendiri) dan memberi benda yang kita miliki (untuk orang lain). Dan sebagai Sufi, beliau tidak terlalu mementingkan uzlah atau menyepi untuk merenung. Menurutnya, mengamalkan tarekat sebagai seorang sufi bukan hanya memegang tasbeh, berdzikir di masjid, atau melakukan zawiyah/uzlah tanpa mempedulikan kehidupan duniawi dan kepentingan masyarakat. Menurutnya, salat 5 waktu dengan disiplin, mencari nafkah dengan jujur, menuntut ilmu dengan bersungguh-sungguh, merupakan kehidupan bertarekat. "Tapi ingat, jangan sampai semua itu menyebabkan kita melupakan Allah SWT. Enggak ada larangan berbisnis bagi pengikut tarekat. Bisnis tidak menghalangi seseorang untuk masuk surga. Sebab ada berjuta jalan menuju Allah," Katanya.

Dan kini, Jumat 7 januari 2005, Kyai Djalil yang penyabar telah menghadap Allah SWT. Sugeng tindak, Kyai.

Pesan-pesan yang saya pernah dengar langsung dari beliau, antara lain:

  1. Belajar tarekat itu wajib bagi manusia yang imannya tipis, karena sepersekian detik pun manusia tidak pernah lepas dari pikirannya akan dunia (istri, anak, finance, pekerjaan, studi, dll).

  2. Saya ini selalu sabar menjalani cobaan, meskipun disakiti orang-orang dekat dan teman sejawat. Tapi hati ini selalu saya tata untuk tetap tenang tanpa emosi walau berhadapan dengan model/karakter orang yang berbeda-beda, sekalipun yang menemuiku seorang penjahat.

  3. Tarekat itu anti maki-maki, tapi menyelesaikan masalah dengan musyawaroh, karena wong tarekat itu ahli dzikir bukan dengan akal pikiran yang selalu ditumpangi hawa nafsu.

  4. Wong Syadziliyyah itu kendel, harus berjuang untuk rakyat. Musti mendahulukan kepentingan-kepentingan umum seperti membuat madrasah, membuat masjid, atau dengan rajin puasa.

  5. Kondisi dan situasi negara ini sulit di prediksi oleh akal rasional, karena negeri ini adalah negeri yang paling banyak Waliyullahnya.

  6. Saya ini banyak mengkader murid, tapi tetap saja tidak resah meskipun tidak ada yang jadi.

  7. Dan lain-lain.


From : kiriman Email Julia Rani Anggraeni (Syadziliyawati Kendari)

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template