16 September 2008

Cahaya Kekasih Allah

Sinar matahari mulai tampak remang, udara di pinggir stasiun kereta api tulungagung tidak begitu panas, malah tampak sejuk dan segar. Maklum seharian tadi supi’i bersama temannya ba’i begitu kepanasan digerbong kereta api ekonomi jurusan surabaya tulungagung. Ini kali kedua supi’i pergi ke tulungagung, tepatnya ke pondok peta (pesulukan thoriqot agung) yang terletak di tengah kota tulungagung. Pertama kali ia kesana adalah ketika mengikuti baiat thoriqot syadziliyah, sedangkan yang kali ini untuk menghadiri peringatan Haul wafatnya Hadratusy Syaikh Mustaqiem bin Husain dan Hadratusy Syaikh Abdul Jalil bin Mustaqiem.

Sore itu sepanjang perjalanan dari stasiun menuju pondok terlihat jalanan sudah mulai ramai, akses-akses jalan menuju pondok pun sudah ditutup, terlihat banyak sekali rombongan jamaah syadziliyin dan syadziliyat dari luar daerah yang menggunakan carteran bus-bus atau kendaran dengan kapasitas besar maupun mobil-mobil pribadi sudah berdatangan dan parkir ditempat-tempat yang sudah disediakan. Alun-alun kota tulungagung pun ramai sekali dengan orang-orang yang berjualan memanfaatkan momentum peringatan haul ini. Sepanjang jalan area pondokpun terlihat terop-terop, umbul-umbul, sound system maupun peralatan elektronik lainnya sudah terpasang sehingga menambah semaraknya suasana. Supi’i dan Ba’i yang baru pertama kali ini menghadiri haul begitu takjub dan kagum, karena menurut cerita setiap peringatan haul ini tak kurang hadir adalah sekitar 50.000 orang dari seluruh indonesia.

Tepat di jalan Wahid Hasyim tepatnya didepan pondok Peta Supi’i dan Ba’i diam sejenak memperhatikan pondok. “Tidak ada perubahan, tetap kokoh dan menjulang tinggi, Ya menjulang tinggi menuju Arasy Ilahi Robby yang menuntun orang-orang untuk berjalan menuju Allah SWT. Hanya tampak hiasan-hiasan dan podium sederhana yang digunakan untuk prosesi acara.

Singkat cerita acarapun mulai dilaksanakan. Supi’i dan Ba’i pun mengambil tempat di lantai bawah didepan makam. Entah mengapa Supi’i dan Ba’i kok bertempat di lantai bawah padahal tempat itu dikhususkan bagi para kyai dan para alim ulama, ketua kelompok maupun imam khususiah. Pada saat itu Supi’i dan Ba’i cuma mencari tempat kosong, anehnyapun petugas tidak melarang supi’i dan ba’i, mungkin wajah supi’i dan ba’i yang memakai baju “koko” putih mirip kyai kali (He...he...he.., Amin Ya robbal alamiin). Tampak kyai-kyai yang selama ini dikenal oleh supi’i dan ba’i terlihat di depan makam tersebut. Kyai Jamaluddin Ahmad Jombang, Kyai Luqman Hakim Jakarta, Kyai Wahid Zuhdi Purwodadi, Kyai Qosim sepanjang, Kyai Ghofur Blitar, dan lain-lain. Pra acara pertama yaitu pembacaan maulidur Rasul diiringi dengan musik hadra menambah suasana hikmat malam itu. Setelah itu tampil protokol membacakan acara malam itu. Pembukaan, pembacaan ayat suci Alqur’an, sambutan-sambutan, Tahlil, dan pembacaan manaqib syaikh Abil Hasan Asy Syadzili, Syaikh Mustaqiem, Syaikh Abdul Djalil, mauidhotul hasanah serta ditutup dengan do’a.

Pada acara tahlil inilah yang membuat supi’i tidak bisa melupakan sepanjang hidupnya. Khususnya pada saat dzikir kalimat thoyibah yang dipimpin oleh kyai ghofur. Sepanjang tahlil itu nggak tahu mengapa supi’i merasa untuk mati-matian menahan air matanya yang tiba-tiba serasa berkumpul semua di rongga kepalanya minta tumpah. Dag, dig, dug, dag, dig, dug, denyut jantung berdebar kencang, nafas saling mengejar, otot-otot syaraf mengejang membuat kaku seluruh badan. Diawal kalimat thoyibah yang diawali dengan bacaan secara pelan-pelan sebanyak tiga kali “Laa Ilaa ha Ilallaah..........., Laa Ilaa ha Ilallaah..........., Laa Ilaa ha Ilallaah..........., tak kuasa lagi supi’i menahan air matanya untuk tumpah yang sejak awal tahlil tadi ditahannya, nafasnya semakin kejar mengejar, sampai-sampai tak sanggup supi’i untuk sekedar berkata Laa Ila ha Ilallaah..........., bersama para jamaah lainnya yang semakin lama semakin cepat seperti irama suara sepatu tentara yang sedang berjalan. Hanya “Allah...., Alllah...., Allah....., Allah....., Allah......,Allah..... bunyi yang berdetak nyata didalam dirinya.

Tiba-tiba pandangannya menjadi lebih gelap, entahlah seolah-olah supi’i merasa mau pingsan, tetapi sesaat sebelum kesadarannya benar-benar lenyap. Tiba-tiba pandangannya seketika menjadi terang-benderang, terang sekali tetapi tidak silau, halus dan lembut, kemudian supi’i melihat cahaya indah sekali berbentuk spiral melingkar bertuliskan lafadz Allah muncul dari atas makam didalam pondok, terus naik ke atas, naik dan naik bergerak pelan seakan mengikuti irama tahlil yang merdu yang dilantunkan para jamaah syadziliyin dan syadziliyat. Seluruh bunyi dzikir yang didengar malam itu ia rasakan bagaikan konser ruhani, alunan bacaan tahlil, sholawat, takbir, tasbih, tahmid, istighfar bagaikan nada-nada merdu yang mengalun indah dalam orkestra jiwanya, berbunyi bersama dalam desah-desah nafas cinta kepada Tuhannya.

Tiba-tiba pandangannya hilang lagi, kembali normal lagi. Supi’i sadar air matanya menetes entah sudah berapa banyak, terlihat wajahnya sudah basah dengan air matanya, tetes demi tetes jatuh sampai terlihat pada baju kokonya juga basah bercampur dengan keringat tubuhnya. Suara Alllah...., Allah....., Allah....., Allah......, Allah....., supi’i rasakan masih tetap berbunyi dalam dirinya.

Tiba-tiba pandangannya berubah lagi, seiring suara tahlil Laa Ilaa ha Ilallaah..........Tak beberapa lama kemudian cahaya-cahaya itu ia lihat bagaikan kilatan-kilatan yang bergerak cepat, lap...lap...lap...lap....lap...lap...lap, seakan-akan cahaya itu terlihat seperti ketika mata supi’i berkedip-kedip semakin lama semakin cepat, cepat dan berbarengan dengan itu supi’i merasakan tubuhnya semakin lama semakin kejang dan kaku, sejurus kemudian tubuh supi’i berangsur-angsur lemah, lemas dan keadaanpun normal kembali seiring dengan berakhirnya tahlil yang dipimpin kyai ghofur.

Supi’i bingung terhadap apa yang di alami barusan tadi, karena bagi dia itu pengalaman pertama dan supi’i nggak tahu apa yang terjadi. Ia melihat orang-orang disekelilingnya, tampak normal, bahkan supi’i melirik ke temannya ba’i, juga kelihatan normal dan biasa-biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa, supi’i hanya melihat di pelupuk mata ba’i juga terlihat basah. Apakah mungkin si ba’i juga mengalami hal yang sama dengannya, Wallahu ‘alam. Bagi Supi’i ia cuma bisa berkhusnudzon saja, siapa tahu mungkin itu cara Allah agar Supi’i menjadi lebih haqqul yaqin terhadap jalan yang ditempuhnya dengan bimbingan Hadratusy Syaikh Sholahuddin Abdul Jalil Mustaqiem. Supi’i beranggapan begitulah para kekasih Allah, kehadirannya memancarkan sisi ruhani yang luar biasa, dengan dekat kepada kekasih Allah kita akan teringat kepada Allah sehingga dengan sendirinya kita akan berdzikir kepada Allah.

Terima kasih Ya Allah...,
Malam ini Engkau takdirkan aku untuk berkumpul bersama para kyai,
Berkumpul dengan orang-orang yang selalu berdzikir dan selalu mengingat–Mu
serta berkumpul dengan kekasih-kekasih-Mu.

Ya Allah......
Tiada henti ku berlari dan berlari tuk mengejar Ridlo-Mu
Berilah aku kekuatan dan kemudahan agar aku bisa istiqomah untuk selalu mengingat-Mu, selalu ridlo atas ketetapan-Mu, selalu bersyukur atas nikmat-Mu. Serta selalu bersabar atas cobaan-Mu
Ya Allah.......
Berilah ampunan kepada kami, syadziliyin dan syadziliyat, muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal.
Ya Allah.....
Berilah kami terangnya hati
Tetapnya iman dan islam
Selamatkan kami dunia akhirat
Dan jadikanlah apa yang Engkau berikan kepada kami manfaat dunia akhirat.
Amin.....Amin.....Ya Robbal ‘alamiinn

0 komentar:

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template