26 Desember 2008

Rindu yang Membuncah

Gak Tahu kenapa, tiba-tiba supi’i merasa sangat kangen sekali kepada Syaikh Mursyidnya, Hadratusy Syaikh Sholahudin Abdul Djalil Mustaqim. Rindu itu begitu membuncah gak bisa ditahan lagi. Lebaran kurang beberapa hari supi’i pun nekat untuk berangkat langsung ke Tulungagung menuju pondok PETA untuk sekedar melihat Syaikh mursyid, syukur-syukur bisa bersalaman untuk mencium tangan beliau. Supi’i cuma bisa senyum-senyum sendiri membayangkan dirinya. Orang-orang kaya pada mengikuti paket umrah ramadhan ke tanah suci, tetapi supi’i cuma ke pondok PETA seminggu sebelum lebaran. Kalau dibilang suluk sih enggak, karena suluk di pondok PETA minimal adalah 10 hari.

Seminggu sudah supi’i di pondok tetapi hingga itu pula dia belum bertemu dengan Syaikh mursyidnya. Hingga pulang ke rumah supi’i pun belum bertemu dengan beliau. Meskipun tidak bertemu dengan syaikh mursyidnya Supi’i tidak begitu kecewa, baginya paling enggak sudah sampai di peta itu sudah mengobati kerinduan ruhaninya kepada sang Syaikh Mursyid, paling enggak dia sudah bisa melihat Musholla PETA tempat ia dibai’at untuk mengamalkan aurod Syadziliyah oleh sang syaikh mursyid, paling enggak ia sudah bertemu dengan Kang Wasi’, kang Jumal dan teman-teman yang lagi suluk di pondok, paling enggak ia sudah bisa berziarah kemakam Hadratusy Syaikh Mustaqim Husain dan Hadratusy Syaikh Abdul Djalil Mustaqim.

Beberapa hari lebaran hingga lebaran ketupat adalah moment yang ditunggu-tunggu murid Syadziliyah untuk silaturrahmi dengan syaikh mursyid, tetapi supi’i tidak bisa menggunakan kesempatan ini dikarenakan dia sudah ada janji dengan keluarganya. Hingga moment itupun berlalu.

Hingga kesempatan untuk bertemu dengan Syaikh mursyid itupun kembali muncul dengan adanya program silaturrahmi ke syaikh Mursyid dan beberapa kyai Syadziliyah PETA yang diadakan oleh Majelis Pengajian Cahaya Ilahi Surabaya yang dikoordinatori oleh Ibu Hj. Wiwik Malik. Rindu untuk bertemu dengan Syaikh mursyidpun kembali muncul.

Malam hari sebelum berangkat ke PETA adalah bertepatan dengan jadwal khususiyah. Setelah khususiyah itupun seperti biasa sang imam, kang wasi’ memberikan beberapa pesan bahwa besok bila di PETA ketemu atau tidak ketemu dengan syaikh mursyid itu sama saja keberkahannya, kita harus bisa menerima itu, yang penting hati kita tetap khusnudzon dan sikap kita tetap harus menjaga adab terhadap syaikh mursyid karena tentunya syaikh mursyid pastilah yang lebih tahu tentang hal ini. Pesan kang wasi’ tersebut membuat supi’i dan jamaah khususiyah yang lain semakin ridho apalagi pada kesempatan tersebut kang wasi’ juga bercerita dan memberikan beberapa contoh tentang orang-orang yang sowan ke syaikh Mursyid sebelum-sebelumnya.

Tepat sebelum azhan subuh bergema supi’i segera melaksanakan sholat tahujud ringan beberapa rokaat. Sambil menunggu adzan subuh supi’i teruskan kegiatan ibadah pada malam hari itu dengan tadarus alqur’an hingga beberapa ayat dari kitab suci itupun ia baca. Ia lihat waktu masih banyak, hingga kesempatan itupun ia gunakan untuk mandi, Ia sucikan seluruh tubuh dan hatinya, Ia guyur seluruh tubuhnya dengan niat untuk menemui syaikh mursyid sebagai adab dirinya terhadap syaikh mursyidnya dan bentuk penghormatan dan pengagungan kepada syaikh mursyidnya yang telah membimbing dirinya dan murid-murid syadziliyah yang lain untuk wushul kepada Allah azza wa jalla, tidak hanya dihantarkan ke pintu Allah tetapi langsung hingga ke hadapan Allah. Hal ini Supi’i lakukan karena Supi’i ber ittiba’ kepada apa yang dilakukan oleh Quthubul Muhaqqiqin Sulthonul Auliya’is sayyidinasy Syaikh Abul Hasan Ali Asy syadzily ketika menemui guru beliau Sayyidisy Syaikh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, rodliyallahu ‘anhuma wa ‘aada ‘alainaa mim barokatihima wa anwaarihima wa asroorihima wa ‘uluumihima wa akhlaaqihima wa nafakhaatihima fidiini wad dun-ya wal aakhihiroh, aamiina yaa robbal ‘aalamiin. Sebelum menemui syaikh Abdus Salam, beliau berhenti dan mandi di pancuran mata air sebelum puncak gunung barbatoh. Malam itu bagi supi’i mandinya menjadi terasa lain dibandingkan dengan mandi-mandi sebelumnya.

Adzan Subuh berkumandang, setelah shalat fajar dan sholat subuh serta wiridan, supi’i pun secara khusus bertawasul dengan membaca fatihah sebanyak masing-masing 41 kali yang ditujukan kepada syaikh mursyidnya, syaikh abdul Djalil, syaikh mustaqiem, dan kyai-kyai yang akan dikunjunginya. Setelah itu supi’i beristighfar sebanyak-banyaknya. Tepat pukul 05.00 supi’i berangkat menuju rumah ibu Hj. Wiwik Malik untuk seterusnya menuju pondok PETA. Dalam perjalanan menuju ke Pondok PETA itu tak henti-hentinya supi’i membaca sholawat syadziliyah, istighfar, sholawat lagi, istighfar lagi begitu terus bergantian, tetapi di dalam hatinya tetap bunyi Allah...Allah...Allah yang selalu ia zikirkan seirama dengan bunyi detak jantungnya.

Singkat cerita, alhamdulillah ketika sesampainya di Pondok PETA, jamaah langsung berziarah kemakam hadratusy syaikh Abdul Djalil dan hadratusy Syaikh Mustaqiem. Baru setelah itu kang Jumal berbicara kepada jamaah untuk di aturi pinarak oleh Syaikh Mursyid di ruang tamu beliau. Alhamdulillah ucap syukur supi’i mendengar keterangan yang disampaikan oleh kang Jumal tersebut. Dan para jamaahpun langsung menuju ruang tamu untuk menghadap syaikh mursyid.

Ketika semua telah siap, baru kemudian syaikh mursyid keluar untuk menemui jamaah MCIS (majelis Cahaya Ilahi Surabaya). Hati Supi’i berdegup lebih kencang, anehnya dzikir hati supi’i Allah...Allah....Allah juga menjadi lebih cepat dari yang tadi. Supi’ipun tidak berani lama-lama menatap Wajah Syaikh Mursyid, ia hanya menunduk dan sesekali melihat wajah teman-temannya. Tampak juga wajah Supi’ah yang meskipun tidak sampai termehek-mehek tetapi terlihat jelas di raut wajahnya sedikit mewek. Supi’i yakin bahwa supi’ah juga menahan haru rindu kepada syaikh mursyid. Raut wajah rindu yang bahagia setelah bertemu dengan syaikh mursyid. Yah haru rindu untuk dibimbing oleh syaikh mursyid menuju Allah SWT.

Sekitar satu jam lamanya syaikh mursyid memberikan wejangan kepada kami para jamaah. Selama itu pula supi’i tinggalkan semua ilmu dan amalnya, ia tidak peduli paham apa enggak yang dikatakan oleh syaikh mursyid, yang cuma ia lakukan adalah berzikir terus Allah...Allah...Allah dalam hatinya. Ya zikir itu seperti bergerak dan meluncur sendiri dalam hatinya ketika berdekatan dengan syaikh mursyid. Yang supi’i rasakan selanjutnya adalah tubuhnya terasa lebih hangat. Itulah ulama sesungguhnya, yang hatinya selalu memancarkan cahaya Ilahiyah untuk diteruskan kepada para murid-muridnya. Ulama yang bisa menyentuh hati murid-muridnya untuk selalu ingat kepada Allah. Kata-kata yang beliau ucapkan pun penuh dengan mutiara hikmah yang dalam sebagaimana air lautan yang yang tak akan pernah habis bila digunakan sebagai tinta untuk menulis hikmah dari beliau.

Meskipun pada dawuh atau wejangan beliau berkisar tentang tasawuf (secara detail apa yang didawuhkan beliau bisa anda baca disini) yaitu tentang thoreqot, masalah, bencana, istiqomah, ridho, tawakal, sabar dan iman yang beliau ucapkan dengan membuat kiasan dan perumpamaan-perumpamaan, tetapi apa yang beliau dawuhkan mampu memberikan solusi bagi para jamaah, padahal tentunya masalah atau problem para jamaah masing-masing adalah berbeda-beda. Termasuk juga ketika supi’i di dalam hati berniat bertanya tentang sesuatu yang menyangkut dirinya. Syaikh mursyidpun tahu dan langsung menjawabnya. Supi’i cuma bisa nyengir dan senyum-senyum sendiri mendengar jawaban syaikh mursyid, tentunya senyum bahagia karena sudah menemukan solusinya. Supi’i haqqul yakin bahwa para jamaah yang lain yang punya ganjelan di hatinya juga mengalami hal yang sama, persoalan dan masalah masing-masing jamaah mampu dijawab oleh syaikh mursyid meskipun para jamaah belum bertanya kepada syaikh mursyid.

Segelas sirup dan makanan ringan disuguhkan kepada kami untuk menyegarkan rasa dahaga dan lapar dari fisik kami, tetapi dawuh, nasehat dan pesan beliau mampu meyegarkan kembali ruhani kami untuk selalu semangat menuju ke Ilahi Robbi. Termasuk juga supi’i rindunya yang membuncah terasa hangus hilang terbakar oleh cahaya Sang Poros Agung Syaikh Mursyid, Hadratusy syaikh Sholahuddin Abdul Djalil Mustaqiem.


Selengkapnya.....

06 Desember 2008

All About Salam

Kata salaam dalam Bahasa Arab mempunyai arti keselamatan, kesejahteraan atau kedamaian. Kata salampun juga merupakan salah astu asma Allah yang terdapat dalam 99 asma’ul Husna. Disamping itu juga salam (assalamu’alikum warohmatulloh) juga merupakan salah satu rukun dalam sholat. Sebegitu pentingnya salam hingga Rasululloh SAW pun menganjurkan untuk menyebarluaskan salam bila bertemu dengan sesama muslim dan mewajibkan menjawab salam bila menerima ucapan salam.

Berikut ini hal-hal yang sering kita lupakan entah itu disengaja atau karena itu memang sudah menjadi budaya kita berkaitan tentang salam :

Sering kali kita bila pergi kerumah seseorang apalagi rumah itu seorang kyai, ulama atau orang terpandang lainnya selalu kita mengucapkan salam, tetapi sering kali bila kita pulang kerumah, kita selalu lupa untuk mengucapkan salam. Padahal salam itu adalah doa yaitu doa keselamatan, kerahmatan dan keberkahan. Seharusnya kalau kita pikir tentunya keluarga kita yang lebih utama untuk kita do’akan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW : “Jika engkau hendak masuk ke rumahmu, hendaklah engkau salam, niscaya berkah akan turun kepadamu dan keluargamu.” (HR Turmudzi)

Sering kali bila kita pulang kerumah dan rumah dalam keadaan kosong, kita lupa mengucapkan salam yang telah di ajarkan oleh Rasululloh yaitu : Assalamu’alainaa ‘ibaadillahish shaalihin. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad SAW : “Dan jika tidak ada seorangpun di dalamnya, maka ucapkan, Assalamu’alainaa ‘ibaadillahish shaalihin.” (HR Muslim)

Sering kali bila kita bertamu ke rumah orang lain, selalu kita mengucapkan salam meskipun pintu rumahnya masih tertutup dan belum terlihat orangnya. Padahal seharusnya adab kita adalah kulonuwun/permisi, mengetuk pintu, atau memencet bel dulu, baru setelah Tuan rumah keluar di hadapan kita, maka kita mengucapkan salam kepadanya. sebagaimana firman Allah SWT : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat" (An Nuur [24]: 27). Dan Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW : “Jika seseorang di antara kalian bertemu dengan saudaranya, hendaklah dia memberinya salam, dan jika terpisah antara keduanya oleh pohon, tembok ataupun batu besar lalu bertemu kembali, hendaklah kalian mengucapkan salam lagi kepadanya.” (HR Abu Dawud).

Sering kali bila kita mendapat salam dari orang lain kita cuma menjawab salam tersebut dengan : “Wa ’alaikum salam”, padahal jawaban tersebut kurang sempurna dan setara, harusnya jawaban kita adalah : “Wa ‘alaikumus salaam”. Perhatikan perbedaan keduanya. Pada kata yang pertama (salaam) berarti keselamatan, sedangkan pada kata kedua (as salaam) mengandung makna seluruh keselamatan. Tentu saja tidak setara antara keselamatan dan seluruh keselamatan. Jawaban "Wa'alaikum salaam ..." mempunyai makna keselamatan atas kalian; sedangkan jawaban "wa ‘alaikumus salaam ..." mempunyai makna seluruh keselamatan atas kalian. Tentu saja jawaban "Wa'alaikum salaam (keselamatan atas kalian)..." tidak setara apabila pemberi salam megucapkan: "Assalaamu ‘alaikum (Seluruh keselamatan atas kalian) ...!. syukur-syukur kalau kita menjawab lebih lengkap yaitu : "Wa'alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh" Sebagaimana firman Allah SWT : "Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu" (An Nisaa' [4]: 86).

Sering kali kita terlalu “kengệthệken (jawa)” bila kita menerima telepon kita selalu mendahului untuk mengucapkan salam, meskipun itu tidak dilarang atau malah dianjurkan asalkan kita mengatahui pasti dan yakin bahwa itu benar-benar seorang muslim, tetapi alangkah baiknya bila kita menunggu saja, apalagi kalau telepon itu adalah model telepon rumah yang tidak ada ID callernya. Hal ini dikhawatirkan bahwa yang menelepon tersebut adalah non muslim. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad SAW : “Janganlah mendahului Yahudi dan Nasrani dengan ucapan salam, jika engkau menemui salah seorang daripada mereka di jalan, desaklah hingga mereka menepi dari jalan”. (HR. Muslim) dan bersabda pula Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika ahli kitab memberi salam kepadamu maka jawablah dengan wa’alaikum” (mutafaq alaihi).

Sering kali bila kita mengirim sms, kata salam selalu kita singkat dengan kata “ass” padahal kata ass dalam bahasa inggris berarti : Pantat. Sungguh sesuatu yang sangat tidak etis dan tidak mempunyai adab apabila kata salam yang begitu agung, yang merupakan nama Allah mempunyai arti lain yang lebih hina. Naudzu billahi mindzalik.

Sering kali kita mendengar entah itu presenter ditelevisi, entah itu seorang MC, dalam mengawali acara selalu salah dalam mengucap salam, seperti : Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuuuuh. Dengan kata ka yang pendek dan kata tuh yang panjang, padahal seharusnya adalah kata ka adalah panjang sepanjang Mad Thobi’i, dan kata tuh adalah pendek karena bukan mad.

Sering kali kita mendengar atau mungkin kita sendiri yang melakukan pada waktu akhir sholat salam kita yang kita ucapkan adalah : Salamu’alaikum warohmatulloh. Padahal seharusnya ada huruf alif Lam, yang disebut bacaan idhom syamsyiah karena bertemu dengan sin sehingga menjadi : Assalamu’alaikum warohmatulloh. Padahal kita tahu bahwa salam dalam sholat adalah merupakan rukun yang harus dilakukan, bila tidak maka tidak sah sholatnya.

“Allahumma antas salaam, wa minkas salaam, wa ilaika ya’uudus salaam, fachaiyina robbanaa bis salaam, wa adkhilnal jannata daaros salaam, tabaarokta robbanaa wata’aalaita yaa dzal Jalaali wal ikroom”
Selengkapnya.....

01 Desember 2008

Hizib Bahri

Dalam tradisi arab, kata Hizib semula ditandai untuk merujuk sesuatu yang “berduyun-duyun” dan “berkelompok”. Itulah makanya ada kata “Hizbullah”, artinya “sekumpulan” bala tentara yang berjuang atas nama Allah. Tetapi kata Hizbullah sendiri kadang juga digunakan untuk menyebut para malaikat.

Masih segar dalam ingatan kita, ketika Nabi dan para sahabat bertempur melawan kaum musyrikin dalam perang badar, Allah sengaja mendatangkan 5000 pasukan sebagai bala bantuan yang bertandakan putih, mereka adalah para malaikat (Hizbullah)

Kata Hizib sendiri terkadang juga digunakan untuk menyebut “mendung yang berarak” atau “mendung yang tersisa”. Semisal hizbun min al-ghumum (sebagian atau sekelompok mendung)

Ternyata untuk selanjutnya perkembangan kata hizib dalam tradisi thoriqot atau yang berkembang di pesantren adalah untuk “menandai” sebuah bacaan-bacaan tertentu. Misalnya hizib yang dibaca hari jum’at ; yang dimaksud adalah wirid-wirid tertentu yang dibaca hari jum’at.

Untuk selanjutnya, makna hizib adalah wirid itu sendiri. Atau juga bisa bermakna munajat, ada hizib Ghazaly, Hizib Bukhori, Hizib Nawawi, Hizib Bahri, yang masing-masing memiliki sejarah sendiri-sendiri.

Asy Syaikh Abul Hasan Asy Syadzily terkenal sebagai seorang yang memiliki banyak rangkaian doa yang halus dan indah, disamping kekayaan berupa khazanah hizib-hizibnya. Salah satu hizib beliau yang terkenal sejak dulu hingga sekarang adalah hizib Bahri dan hizib Nashor. Kedua hizib tersebut banyak diamalkan oleh kaum muslimin diseluruh dunia, terlebih ulama-ulama besar, kendati sebagian dari mereka tidak mengikuti thoriqot asy syaikh.

Hizib Bahri yang artinya hizib yang di terima asy syaikh Abul Hasan asy Syadzili langsung dari Rasulullah SAW berkaitan dengan lautan yang tidak ada anginnya. Sejarah diterima hizib bahri adalah sebagai berikut :

Pada waktu itu asy syaikh Abul Hasan Asy Syadzili tengah melakukan perjalan ibadah haji ke tanah suci. Perjalanan itu diantaranya harus menyeberangi laut merah. Untuk menyeberangi lautan itu sedianya beliau akan menumpang perahu milik seseorang yang beragama nasrani. Orang itu juga akan berlayar walaupun berbeda tujuan dengan asy syaikh. Akan tetapi keadaan laut pada waku itu sedang tidak ada angin yang cukup untuk menjalankan kapal. Keadaan seperti itu terjadi sampai berhari-hari, sehingga perjalannapun menjadi tertunda. Sampai akhirnya pada suatu hari, asy syaikh bertemu dengan baginda Rasulullah SAW. Dalam perjumpaan itu, Rasulullah SAW secara langsung mengajarkan hizib Bahri secara imla’ (dikte) kepada asy syaikh.

Setelah hizib Bahri yang baru beliau terima dari Rasulululah SAW itu beliau baca, kemudian beliau menyuruh si pemilik perahu itu supaya berangkat dan menjalankan perahunya. Mengetahui keadaan yang tidak memungkinkan, karena angin yang diperlukan untuk menjalankan perahu tetap tidak ada, orang itupun tidak mau menuruti perintah asy syaikh. Namun asy syaikh tetap menyuruh agar perahu diberangkatkan. “Ayo, berangkat dan jalankan perahumu ! sekarang angin sudah waktunya datang “, ucap asy syaikh kepada orang itu. Dan memang benar kenyataannya, angin secara perlahan-lahan mulai berhembus, dan perahupun akhirnya bisa berjalan. Singkat cerita alkisah kemudian si nasrani itupun lalu menyatakan masuk islam.

Berkata syaikh Abdurrahman al Busthomi, “Hizbul Bahri ini sudah digelar di permukaan bumi. Bendera hizbul bahri berkibar dan tersebar di masjid-masjid. Para ulama sudah mengatakan bahwa hizbul bahri mengandung Ismullohil ‘adhom dan beberapa rahasia yang sangat agung.

Dalam kitab Kasyf al-Zhunun `an Asami al-Kutub wa al-Funun, Haji Khalifah seorang pustakawan terkenal asal Konstantinopel (Istanbul Turki) menulis berbagai jaminan yang diberikan asy Syaikh Abul Hasan Syadzili dengan Hizib Bahrinya ini. Di antaranya, menurut Haji Khalifah, Asy Syaikh Syadzili pernah berkata: Seandainya hizibku (Hizib Bahri, Red.) ini dibaca di Baghdad, niscaya daerah itu tidak akan jatuh. Mungkin yang dimaksud Asy Syaikh Syadzili dengan kejatuhan di situ adalah kejatuhan Baghdad ke tangan Tartar.

Bila Hizib Bahri dibaca di sebuah tempat, maka termpat itu akan terhindar dari malapetaka, ujar Syaikh Abul al-Hasan, seperti ditulis Haji Khalifah dalam Kasyf al-Zhunun.

Haji Khalifah juga mengutip komentar ulama-ulama lain tentang Hizib Bahri ini. Ada yang mengatakan, bahwa orang yang istiqamah membaca Hizib Bahar, ia tidak mati terbakar atau tenggelam. Bila Hizib Bahri ditulis di pintu gerbang atau tembok rumah, maka akan terjaga dari maksud jelek orang dan seterusnya.

Konon, orang yang mengamalkan Hizib Bahri dengan kontinu, akan mendapat perlindungan dari segala bala’. Bahkan, bila ada orang yang bermaksud jahat mau menyatroni rumahnya, ia akan melihat lautan air yang sangat luas. Si penyatron akan melakukan gerak renang layaknya orang yang akan menyelamatkan diri dari daya telan samudera. Bila di waktu malam, ia akan terus melakukan gerak renang sampai pagi tiba dan pemilik rumah menegurnya.

Banyak komentar-komentar, baik dari Asy Syaikh Syadzili maupun ulama lain tentang keampuhan Hizib Bahri yang ditulis Haji Khalifah dalam Kasyf al-Zhunun jilid 1 (pada entri kata Hizb). Selain itu, Haji Khalifah juga menyatakan bahwa Hizib Bahri telah disyarahi oleh banyak ulama, diantaranya Syaikh Abu Sulayman al-Syadzili, Syaikh Zarruq, dan Ibnu Sulthan al-Harawi.

Seperti yang telah disampaikan dalam manaqib Asy Syaikh Syadzili, bahwa menjelang akhir hayat beliau, asy syaikh telah berwasiat kepada murid-murid beliau agar anak-anak mereka, maksudnya para murid thoriqot syadziliyah, supaya mengamalkan hizib Bahri. Namun untuk mengamalkan Hizib ini seyogyanya harus melalui talqin atau ijazah dari seorang guru yang memiliki wewenang untuk mengajarkannya. Seseorang yang tidak mempunyai wewenang tidak berhak mengajarkannya ataupun memberikan hizib ini kepada orang lain. Hal ini merupakan adabiyah atau etika dilingkungan dunia thoriqot.

Dalam Thoriqot Syadziliyah Peta Tulungagung, setiap mengamalkan aurod, wirid maupun hizib selalu diawali dengan niat dan kata “Lillahi ta’ala”, setiap murid tidak boleh bertanya apa fadhilah maupun faedah dari wirid ataupun hizib tersebut, karena hal tersebut bisa mengurangi atau menghilangkan keikhlasan. Bagi jamaah Syadziliyah Peta Tulungagung fungsi Hizib itu sendiri adalah untuk meng-Hizib dirinya sendiri, untuk merontokkan hawa nafsunya, sehingga bisa wushul kepada Allah. Itulah Tujuan utama orang berthoriqot, karena kalau tujuannya bukan untuk Allah (bukan Lillahi ta’ala) maka itu akan menjadi Hijab antara dirinya dengan Allah, bukan semakin dekat malah semakin jauh dari Allah SWT, naudzubillahi mindhalik.

Sumber :
1. Sang Quthub Agung, manaqib Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili, Penerbit PETA, Tulungagung.
2. www.sidogiri.com
3. Sastra Hizib, penerbit LKIS


Selengkapnya.....

18 November 2008

Kharisma Kiai Thoriqot Pondok PETA Tulungagung


KabarIndonesia - Tulungagung, Sudah 38 tahun silam, KH Mustaqiem bin Hussain berpulang. Sudah tiga tahun pula, putranya, KH Abdul Djalil Mustaqiem yang meneruskan perjuangannya wafat. Namun begitu, ketokohan dan keteladanan dua kiai kharismatik dari pondok pesantren Pesulukan Tareqot Agung (Peta) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, ini seakan tak pernah terputus.

Santri yang menjadi pengikut ajarannya masih saja terus mengalir ke Pondok Tareqot yang berlokasi di Jl. KH. Wakhid Hasyim, Kelurahan Kauman, Kecamatan Kota Tulungagung ini. Faktanya, setiap setahun sekali dihelat peringatan haul, santri yang berdatangan ke pondok Peta benar-benar luar biasa. Pondok yang kini diasuh putra Kiai Abdul Djalil Mustaqiem, Charir Mohamad Sholahudin Al Ayyubi (Gus Saladien) itu sama sekali tak kehilangan daya magnetik-nya. Dalam haul yang digelar, Minggu (13/1/2007) kemarin, misalnya, puluhan ribu santri jamaah Pondok Peta dari berbagai pelosok Indonesia tumplek blek membanjiri Kota Tulungagung.

Ketokohan dan keteladanan KH Mustaqiem yang masih keturunan dari Mbah Penjalu itu agaknya tetap meninggalkan ‘goresan' tersendiri di kalangan santri tareqot yang menjadi pengikutnya. ‘'Setiap haul, keluarga kami pasti ke Pondok Kiai Mustaqim dan Abdul Djalil ini,'' tutur beberapa santri Peta dari Blora, Jawa Tengah. Tak tanggung-tanggung. Para santri dari luar propinsi itu datang ke Tulungagung sampai harus mencarter beberapa buah bus bersama jamaah Pondok Peta lainnya. Demikian pula santri dari luar Pulau Jawa, saat haul, mereka juga banyak yang datang ke Pondok Peta dengan berombongan.

‘'Kami datang dari Lampung. Setiap haul, kami mesti datang ke Pondok,'' kata serombongan santri dari luar Pulau Jawa itu menuturkan. Di kalangan santrinya, KH. Mustaqim maupun Kiai Djalil diakui sebagai sosok yang banyak memberikan keteladanan dalam mengajarkan ilmunya. Karena itulah, santri-santrinya juga tersebar luas ke seantero negeri.

Di sisi lain, kiai yang menjadi tokoh tareqot assadziliyah itu dalam perjalanan hidupnya memang memiliki banyak kelebihan sebagaimana sering diungkap dalam manakib-nya yang dibacakan setiap peringatan haul. ‘'Sejak kecil, KH Mustaqiem sudah punya sirri. Beliau juga punya khizib kahfi,'' kata KH Mudhofir Sukhaimi yang biasa membacakan manakib KH Mustaqiem bin Hussain dalam setiap peringatan haul.

Diceritakan pula, suatu ketika, kiai Mustaqiem menerima nasib tak menyenangkan saat penjajahan Jepang. Bersama warga masyarakat yang lain, kiai kelahiran Keras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tahun 1901 itu, harus menghadapi penyiksaan sadis yang dilakukan penjajah Jepang. ‘'Saat itu, Mbah Mustaqiem disiksa dengan cara ditutup semua lubang yang ada di tubuhnya kecuali dua lubang hidungnya. Lalu, lubang hidung itu dimasuki selang dan dipompa. Setelah perutnya membesar, Jepang menginjak-injak dengan sepatu perangnya. Banyak rakyat kita yang akhirnya mati disiksa seperti ini,'' katanya.

Namun, tidak demikian yang terjadi pada diri Kiai Mustaqiem. Entah bagaimana ceritanya, Jepang memasukkan selang tidak ke lubang hidung Kiai Mustaqiem. Tapi, selang itu justru dimasukkan ke lubang ‘sabuk othok' (ikat pinggang khas orang Jawa). Maka, selamatlah kiai Mustaqiem dari penyiksaan sadis yang dilakukan penjajah Jepang. ‘'Begitulah Kiai Mustaqiem mempunyai kelebihan,'' kata KH Mudhofir.

Keistimewaan lainnya, Kiai Mustaqiem juga punya ilmu bela diri yang hebat. Kemampuan bela diri ini diketahui ketika Kiai ini ditantang silat seorang pendekar ulung. KH. Mustaqiem, ternyata, mampu meladeni tantangan itu dengan bersilat di atas empat tombak. ‘'Beliau juga menguasai sedikitnya 40 bahasa asing,'' terang KH Mudhofir.

Tak pelak, santri-santrinya saat itu sampai dibuat heran karena tak pernah tahu kapan kiai yang wafat pada 1970 itu belajar bahasa asing. ‘'Saat kedatangan tamu dari India, Mbah Mustaqiem juga bisa meladeni pembicaraan menggunakan bahasa India,'' ujarnya. Yang patut diteladani lagi, dalam setiap acara haul diungkapkan, meski tergolong Kiai berilmu tinggi, KH. Mustaqiem punya sikap tak suka menyombongkan diri. Faktanya, suatu hari, ada Kiai besar (Syekh Abdul Rozaq) yang akan berguru kepadanya. Namun, KH Mustaqiem justru bersikap sebaliknya. Beliau malah akan berguru kepada Syekh Abdul Rozaq. ‘'Akhirnya, kedua Kiai besar itu rebutan untuk menjadi murid,'' ungkapnya.

Sepeninggal Kiai Mustaqiem, perjuangan Pondok Peta diwariskan kepada salah seorang putranya, KH Abdul Djalil Mustaqiem. Sayang, Kiai Abdul Djalil yang tak kalah kharismatik dengan sang ayah itu, Jumat (7/1/2005) lalu sudah keburu dipanggil Allah SWT. Sebagai penerus perjuangannya, kini Pondok Peta diasuh Gus Salladien, salah seorang putra Kiai Abdul Djalil Mustaqiem yang usianya baru sekitar 29 tahun.

Sebagai kiai kharismatik, kediaman Kiai Djalil hampir tak pernah sepi dari kunjungan tokoh-tokoh politik lokal maupun nasional. Menjelang Pemilu legislatif dan Pemilu presiden 2004 lalu, misalnya, kediaman Kiai Djalil banyak menjadi singgahan tokoh-tokoh politik nasional.

Saat itu, beberapa tokoh nasional yang berkunjung ke kediaman Kiai Djalil, di antaranya, Nurcholis Madjid (Cak Nur), mantan Wapres, Try Soetrisno, Amien Rais, Yusuf Kalla dan tentu saja KH Abdurrohman Wahid (Gus Dur) yang sudah tak terbilang jumlahnya mendatangi pondok Kiai Djalil.

Keterangan foto : Kiai Abdul Djalil saat menerima kunjungan mantan Wapres Try Soetrisno bersama istrinya, sebelum Pemilu 2004 lalu. Saat itu, Try Soetrisno juga merayakan ulang tahunnya di kediaman Kiai Djalil.

From : www.kabarindonesia.com
Oleh : Muhibuddin

Selengkapnya.....

17 November 2008

Doa Sulthonul Auliya' Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili 5

Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Semoga Allah memberi pertolongan kepada kami dan kamu pada apa yang Dia sukai dan Dia Ridhoi. Semoga Dia memilihkan untuk kami dan kamu apa yang Dia takdirkan dan Dia qodha’kan. Dan menjadikan kami dan kamu tergolong orang-orang yang menang di hari bertemu dengan-Nya.

Wahai Allah.....
Wafatkanlah kami sebagai orang muslim dan ikutkanlah kami bersama Muhammad dan golongannya atas Ridha dari-Mu dan mereka dengan iringan selamat dari rasa malu dan segan serta hina oleh sebab amal perbuatan yang campur aduk kami yang telah berlalu.

Wahai Allah.....
Maafkanlah kami dalam kebodohan kami, dan janganlah Engkau menuntut kami karena kelalaian kami terhadap-Mu, dan sebab kejelekan adab kami bersama-Mu dan bersama para malaikat pencatat yang mulia.

Wahai Allah....
Ampunilah dosa-dosa dan kelalaian kami, kebodohan kami terhadap nikmat-nikmat-Mu. Ampunilah kami yang sedikitnya rasa malu kami terhadap-Mu, dan sudilah kiranya Engkau menghadap kepada kami dengan Wajah-Mu, dan janganlah Engkau membiarkan kami difitnah oleh sesuatu dari makhluk-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Wahai Allah....
Ampunilah kami tentang apa yang sudah diketahui oleh manusia dari makhluk-makhluk-Mu dan ampunilah kami atas apa saja yang telah Engkau ketahui dan sudah ditulis oleh para malaikat-Mu, dan ampunilah kami atas apa yang telah kami ketahui dari diri kami sedangkan tidak seorangpun dari para makhluk-Mu yang mengetahui, dan ampunilah kami atas apa yang telah Engkau tentukan kepada kami dalam semua hukum-hukum-Mu, dan karuniakanlah kami kekayaan yang dengannya kami tidak lagi membutuhkan apa-apa dari semua makhluk-Mu dan disertai pula dengan terbukanya penutup antara kami dan antara-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Wahai Allah.....
Ampunilah kami dengan ampunan yang Engkau berikan kepada para kekasih-Mu yang tidak membiarkan sedikitpun keraguan dan tidak menyisakan bersamanya sesuatu celaan dan cercaan. Jadikanlah apa yang telah Engkau ketahui dalam diri kami dan dari diri kami sesuatu yang paling baik diketahui setelah dihapus dan ditetapkannya amal-amal. Sesungguhnya Ummul Kitab (Lauh Mahfudzh) ada di sisi-Mu.

Wahai Allah....
Ampunilah semua dosa-dosa kami baik yang kecial maupun yang besar, yang rahasia maupun yang nampak, yang pertama maupun yang terakhir. Dan ampunilah orang-orang yang kami cintai yang melakukan perjalanan jauh dari kami, perjalanan dunia maupun akhirat, jadikanlah gerak langkah mereka sebagaimana gerak langkah orang-orang yang taqwa dan kepulangan mereka sebagaimana kembalinya orang-orang yang memperoleh keuntungan. Dan Jadikanlah kita semua dengan Rahmat-Mu orang-orang yang diterima (permohonannya), sekalipun kami adalah orang-orang yang berjalan sombong, karena para penyanggah itu sesungguhnya bermurah hati meskipun mereka mengetahui, dan Engkau lebih utama terhadap yang demikian karena Engkau Maha Mulia dari siapapun pengasih. Segala Puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Wahai Allah....
Janganlah Engkau pulangkan kami dengan hampa sedang kami penuh berharap kepada-Mu. Janganlah Engkau tolak kami sedang kami berdo’a kepada-Mu. Kami benar-benar memohon kepada-Mu sebagaimana telah Engkau perintahkan kepada kami, maka kabulkanlah permohonan kami sebagaimana telah Engkau janjikan kepada kami, dan janganlah Engkau jadikan kerendahan diri kami sesuatu yang tidak berarti bagi-Mu dan tidak diterima. Dan sebagaimana Engkau telah memudahkan kami untuk berdoa, maka mudahkan pula terkabulnya. Seungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Selengkapnya.....

07 November 2008

Di Sebuah Toko Buku ..........

Sabtu selepas dhuhur supi’i berniat untuk pergi ke toko buku, ia mendengar bahwa toko buku tersebut menggelar discount hingga 50 %. Letak toko buku itu tidak terlalu jauh dri rumah Supi’i, kira-kira 4 kilometeran, kalau naik sepeda motor perjalanan tidak sampai 15 menit. Toko buku itu tidak begitu besar layaknya sebuah toko buku seperti Gramedia, Uranus, Toga Mas maupun Manyar Jaya yang mempunyai bangunan unik khas toko buku. Dari luar malah nampak seperti rumah biasa, cuman ada tulisan nama toko buku itu yang menunjukkan bahwa bangunan itu adalah sebuah toko buku. Letak toko buku itupun tidak se strategis toko buku lainnya yang terletak di jalan protokol atau pusat perniagaan, tetapi toko buku tersebut terletak di perkampungan. Keuntungan toko buku itu adalah jalan di depan toko buku tersebut merupakan jalan menuju beberapa kampus di surabaya, selain toko buku tersebut dekat dengan kampus ekonomi swasta terkenal juga toko buku tersebut dekat dengan perpustakaan daerah jawa timur, satu lagi kekhasan toko buku tersebut adalah hanya menjual buku-buku agama islam.

Supi’i pergi ke toko buku tersebut memang untuk mencari buku “Lebih dekat kepada Allah” sebuah buku terjemahan dari Syarah al-Hikam karya Syaikh Ajibah al Hasani. Supi’i sudah mencari ke semua toko buku itu di surabaya tetapi dia belum menemukannya, semua stock habis. Tinggal toko buku itulah harapannya.

Pukul 14.00 lebih sedikit supi’i sampai di tempat toko buku tersebut. Sudah nampak 4 sepeda motor yang parkir di tempat parkir toko buku itu, tinggal 2 tempat parkir yang kosong untuk sepeda motor. Satu di ditempati oleh sepeda motor supi’i, sekarang praktis tinggal satu lagi yang kosong.

Sampai di dalam terlihat dua orang kasir dan beberapa pengunjung yang rata-rata perempuan dengan jilbab lebar dan besar serta laki-lakinya dengan penampilan berjanggut dan celana yang cingkrang. Hanya terlihat supi’i yang memakai Celana jeans Lee Cooper dan kaos oblong Joger. Supi’i tahu beberapa orang melirik dan mengamati supi’i, mungkin bagi mereka supi’i adalah orang asing, karena penampilan supi’i yang lain dari kebanyakan mereka yang masuk di toko buku tersebut. Supi’i cuek aja terhadap orang-orang yang mengamatinya. Bagi dia yang penting dia berniat untuk membeli buku dan tidak mencuri serta tidak mengganggu yang lainnya.

Sudah hampir satu jam supi’i mencari buku yang selama satu bulan ini dicari tapi belum ketemu juga. “Besar juga toko buku” guman supi’i, ada 4 ruangan yang masing-masing ruangan mempunyai identifikasi sendiri. Ruangan utama yaitu ruangan yang paling besar, disitu terdapat kasir dan buku-buku islam umum, ruangan tafsir alqur’an, ruangan buku-buku remaja dan novel serta ruangan yang difungsikan sebagai gudang untuk menyimpan stock buku. Tapi untuk buku-buku tasawuf jarang sekali bahkan bukunya bisa dihitung dengan jari. Hingga akhirnya seorang bapak tua pekerja disitu bertanya kepada supi’i “cari buku apa mas”. Supi’i yang disapa kemudian dengan tersenyum menjawab “buku Lebih dekat kepada Allah pak”. “Penerbitnya mana mas ?”. “oh pustaka Hidayah pak”. Sekejap kemudian bapak tua itu mencarikan buku itu untuk mengecek ke data base di komputernya. Tidak lama kemudian bapak tua tersebut mencari supi’i dan berkata : “wah gak ada mas, kalau buku ini gimana”. Sambil bapak tua itu menunjukkan buku tebal 2 jilid. “buku ini lengkap, mas bisa untuk bacaan selama setahun“. Supi’i cuma melirik judul buku tersebut yang masih ditangan bapak tua itu, terlihat nama-nama pengarang : Al-albany, Utsaimin, Bin Baz, ibn taimiyah dll. Supi’i cuma bisa mengira-kira bahwa buku tersebut merupakan kumpulan fatwa-fatwa dari mereka. Hingga akhirnya supi’i berkata “terima kasih pak, saya hari ini cari buku-buku tasawuf”.

Tampak jelas perubahan dari raut muka bapak itu yang menjadi tidak senang terhadap supi’i kemudian sambil berkata “Naqsyabandi itu sesat masak mereka masuk puasa dan lebaran lebih dulu, mereka itu sesat dan kafir”. Supi’i cuma bisa tersenyum meskipun dia sendiri merasa dongkol orang itu berkata demikian. Ia teringat akan berita di televisi dan media massa bahwa naqsyabandi Padang sumatera barat melakukan puasa dan lebaran lebih dahulu bila dibandingkan dengan pemerintah. Meskipun ia sendiri merupakan orang syadziliyah, tapi supi’i tahu kalau naqsyabandi itu adalah thoriqot yang mu’tabaroh yang aurad sanadnya nyambung hingga rasulullah saw. Supi’i sadar bahwa bapak tua didepannya ini adalah pengikut jamaah yang anti terhadap tasawuf dan begitu mudahnya memvonis jamaah lain di luar jamaahnya sesat, kafir, bid’ah. Supi’i jadi geli sendiri masak dengan perbedaan fiqih aja bapak tua itu sampai menyesatkan dan mengkafirkan orang lain. Didalam hati terus menerus supi’i beristghfar memohon ampunan untuk dirinya dan bapak tua itu, agar bapak tua itu diberi hidayah atau paling enggak untuk keturunannya sehingga tidak lagi anti tasawuf.

Supi’i segera pergi untuk mencari buku yang lain, ketimbang berdebat dengan bapak tua itu, karena pasti hatinya telah keras dan tidak ada hasilnya. Supi’i jadi teringat buku yang telah dibacanya yaitu terjemahan Lathaiful Minan karya Syaikh Ibn Atha’illah As sakandary, bahwa kakek Ibn Atha’illah As sakandary adalah seorang yang anti dan memusuhi tasawuf.

Dalam buku itu diceritakan bahwa seorang murid syaikh (abu al-abbas al-Mursy) bercerita kepadaku (Ibn Atha’illah)“ Syaikh Abu al-Abbas pernah berkata “ Apabila Ibn Atha’Illah fakih dari Iskandaria datang, kabari aku“. Maka ketika engkau datang kami segera memberitahu syaikh. Ia kemudian berkata “Mendekatlah !” kamipun maju mendekatinya, kemudian syaikh berujar : “Ketika kaum Quraisy mendustakan Rasulullah saw, Jibril mendatanginya beserta malaikat penguasa al Akhsyaiban (dua gunung di mekkah), Jibrial as kemudian berkata “ini adalah dua malaikat penguasa dua gunung ini. Allah memerintahkannya untuk menaati perintahmu dalam urusan kaum Quraisy”. Kemudian malaikat itu mengucapkan salam seraya berkata “Wahai Muhammad jika kau mau, akan aku timpakan kedua gunung ini kepada mereka dan pasti kulakukan”. Namun Rasulullah saw menjawab “JANGAN !!!” aku berharap semoga keturunan mereka yang mengimani keesaaan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Rasulullah saw bersabar menghadapi mereka karena berharap bahwa ada anak keturunan mereka yang mengikutinya. Demikian pula kita bersabar menghadapi kakek sang faqih ini (Ibn Atha’illah) demi dirinya.

Supi’i sadar bahwa orang beriman dan berislam itu ibarat menjadi buah, terkadang harus menjadi durian dimana manis isinya tetapi berduri kulitnya, terkadang seperti manggis dimana isinya tidak bisa dimakan, tetapi dagingnya sangat manis. Ada buah yang indah kulitnya, tetapi pahit isinya, dan hanya sedikit buah yang kulit dan isinya sama-sama indah, sama-sama manis. Ada orang yang puas dengan memamah kulit dan merasa cukup dengannya. Ada pula yang membuang kulit demi bisa menikmati isinya. Manusia sempurna adalah dia yang pakaian luarnya seindah jiwanya. Dialah para nabi, para rasul dan para wali dan kekasih Allah, merekalah teladan sejati.

Tepat adzan ashar berkumandang supi’i berniat kembali, dia menuju ke kasir untuk membayar buku yang didapat dari toko buku tersebut. Ada dua buku yang didapatnya yaitu pertama bukunya Syaikh Abdul Qodir al-Jilany yaitu Futuhul Ghaib yang dalam terjemahannya berjudul Menyingkap Rahasia Rahasia Ilahi dan bukunya Syaikh Ibn Atha’illah As sakandari yang berjudul Al-Qashad al Mujarrad fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrad yang di terjemahkan menjadi “Rahasia Asma Allah”.

Supi’i bersyukur sekali karena mendapat pengalaman dan pelajaran berharga yaitu pelajaran sabar, sabar dalam menghadapi bapak tua itu dan mendoakannya sesuai yang dilakukan oleh kanjeng nabi Muhammad saw terhadap suku Quraisy dan Syaikh Abbul Abbas Al Mursi terhadap kakeknya sang fakih Syaikh Atha’illah As Sakandary yang anti tasawuf, dan tentunya juga sabar dalam mencari buku, juga supi’i sangat bersyukur sekali tidak jadi emosi menghadapi bapak itu dan tentunya supi’i juga bersyukur karena mendapatkan potongan harga 30 % untuk dua buku yang dibelinya.


Selengkapnya.....

28 Oktober 2008

Rizal dan mbah Hambali

Sebagai lelaki, sebetulnya umur 37 tahun belum terbilang tua benar. Tapi Rizal tak tahu mengapa kawan-kawannya selalu mengejeknya sebagai bujang lapuk, hanya karena dia belum kawin. Orang tuanya sendiri, terutama ibunya, juga begitu. Seolah-olah bersekongkol dengan kawan-kawannya itu; hampir di setiap kesempatan selalu menanyainya apakah dia sudah mendapatkan calon pendamping atau belum. Rizal selalu menanggapi semua itu hanya dengan senyum-senyum.

Jangan salah sangka! Tampang Rizal tidak jelek. Bahkan dibanding rata-rata kawannya yang sudah lebih dahulu kawin, tampang Rizal terbilang sangat manis. Apalagi bila tersenyum. Sarjana ekonomi dan aktivis LSM. Kurang apa?

"Terus teranglah, Zal. Sebenarnya cewek seperti apa sih yang kau idamkan?" tanya Andik menggoda, saat mereka berkumpul di rumah Pak Aryo yang biasa dijadikan tempat mangkal para aktivis LSM kelompoknya Rizal itu. "Kalau tahu maumu, kita kan bisa membantu, paling tidak memberikan informasi-informasi."

"Iya, Zal," timpal Budi, "kalau kau cari yang cantik, adikku punya kawan cantik sekali. Mau kukenalkan? Jangan banyak pertimbanganlah! Dengar-dengar kiamat sudah dekat lho, Zal."

"Mungkin dia cari cewek yang hafal Quran ya, Zal?!" celetuk Eko sambil ngakak. "Wah kalau iya, kau mesti meminta jasa ustadz kita, Kang Ali ini. Dia pasti mempunyai banyak kenalan santri-santri perempuan, termasuk yang hafizhah."

"Apa ada ustadz yang rela menyerahkan anaknya yang hafizhah kepada bujang lapuk yang nggak bisa ngaji seperti Rizal ini?" tukas Edy mengomentari.

"Tenang saja, Zal!" ujar Kang Ali, "kalau kau sudah berminat, tinggal bilang saja padaku."

"Jangan-jangan kamu impoten ya, Zal?" tiba-tiba Yopi yang baru beberapa bulan kawin ikut meledek. Rizal meninju lengan Yopi, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum kecut.

"Tidak sumbut dengan tampilannmu," celetuk Pak Aryo ikut nimbrung sehabis menyeruput kopinya. "Tampang boleh, sudah punya penghasilan lumayan, sarjana lagi; sama cewek kok takut! Aku carikan bagaimana?"

"Jawab dong, Zal!" kata Bu Aryo yang muncul menghidangkan pisang goreng dan kacang rebus, mencoba menyemangati Rizal yang tak berkutik dikerubut kawan-kawannya.

"Biar saja, Bu," jawab Rizal pendek tanpa nada kesal. "Kalau capek kan berhenti sendiri."

Memang Rizal orangnya baik. Setiap kali diledek dan digoda kawan-kawannya soal kawin begitu, dia tidak pernah marah. Bahkan diam-diam dia bersyukur kawan-kawannya memperhatikan dirinya. Dan bukannya dia tidak pernah berpikir untuk mengakhiri masa lajangnya; takut pun tidak. Dia pernah mendengar sabda Nabi yang menganjurkan agar apabila mempunyai sesuatu hajat yang masih baru rencana jangan disiar-siarkan. Sudah sering --sampai bosan-- Rizal menyatakan keyakinannya bahwa jodoh akan datang sendiri, tidak perlu dicari. Dicari ke mana-mana pun, jika bukan jodoh pasti tidak akan terwujud. Jodoh seperti halnya rezeki. Mengapa orang bersusah-payah memburu rezeki, kalau rezeki itu sudah ditentukan pembagiannya dari Atas. Harta yang sudah di tangan seseorang pun kalau bukan rezekinya akan lepas. Dia pernah membaca dalam buku "Hikam"-nya Syeikh Ibn ’Athaillah As-Sakandarany sebuah ungkapan yang menarik, "Kesungguhanmu dalam memperjuangankan sesuatu yang sudah dijamin untukmu dan kesambalewaanmu dalam hal yang dituntut darimu, membuktikan padamnya mata-hati dari dirimu."

Setiap teringat ungkapan itu, Rizal merasa seolah-olah disindir oleh tokoh sufi dari Iskandariah itu. Diakuinya dirinya selama ini sibuk --kadang-kadang hingga berkelahi dengan kawan-- mengejar rezeki, sesuatu yang sebetulnya sudah dijamin Tuhan untuknya. Sementara dia sambalewa dalam berusaha untuk berlaku lurus menjadi manusia yang baik, sesuatu yang dituntut Tuhan.
"Suatu ketika mereka akan tahu juga," katanya dalam hati.
***
Syahdan, pada suatu hari, ketika kelompok Rizal berkumpul di rumah Pak Aryo seperti biasanya, Kang Ali bercerita panjang lebar tentang seorang "pintar" yang baru saja ia kunjungi. Kang Ali memang mempunyai kesukaan mengunjungi orang-orang yang didengarnya sebagai orang pintar; apakah orang itu itu kiai, tabib, paranormal, dukun, atau yang lain. "Aku ingin tahu," katanya menjelaskan tentang kesukaannya itu, "apakah mereka itu memang mempunyai keahlian seperti yang aku dengar, atau hanya karena pintar-pintar mereka membohongi masyarakat sebagaimana juga terjadi di dunia politik." Karena kesukaannya inilah, oleh kawan-kawannya Kang Ali dijuluki pakar "orang pintar".

"Meskipun belum tua benar, orang-orang memanggilnya mbah. Mbah Hambali. Orangnya nyentrik. Kadang-kadang menemui tamu ote-ote, tanpa memakai baju. Kadang-kadang dines pakai jas segala. Tamunya luar biasa; datang dari segala penjuru tanah air. Mulai dari tukang becak hingga menteri. Bahkan menurut penuturan orang-orang dekatnya, presiden pernah mengundangnya ke istana. Bermacam-macam keperluan para tamu itu; mulai dari orang sakit yang ingin sembuh, pejabat yang ingin naik pangkat, pengusaha pailit yang ingin lepas dari lilitan utang, hingga caleg nomor urut sepatu yang ingin jadi. Dan kata orang-orang yang pernah datang ke Mbah Hambali, doa beliau memang mujarab. Sebagian di antara mereka malah percaya bahwa beliau waskita, tahu sebelum winarah."

Pendek kata, menurut Kang Ali, Mbah Hambali ini memang lain. Dibanding orang-orang "pintar" yang pernah ia kunjungi, mbah yang satu ini termasuk yang paling meyakinkan kemampuannya.

"Nah, kalau kalian berminat," kata Kang Ali akhirnya, "aku siap mengantar."

"Wah, ide bagus ini," sahut Pak Aryo sambil merangkul Rizal. "Kita bisa minta tolong atau minimal minta petunjuk tentang jejaka kasep kita ini. Siapa tahu jodohnya memang melalui Mbah Hambali itu."

"Setujuuu!" sambut kawan-kawan yang lain penuh semangat seperti teriakan para wakil rakyat di gedung parlemen. Hanya Rizal sendiri yang, seperti biasa, hanya diam saja; sambil senyum-senyum kecut. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia keberatan. Apakah sikapnya itu karena dia menghargai perhatian kawan-kawannya dan tak mau mengecewakan mereka, atau sebenarnya dia pun setuju tapi malu, atau sebab lain, tentu saja hanya Rizal yang tahu. Tapi ketika mereka memintanya untuk menetapkan waktu, dia tampak tidak ragu-ragu menyebutkan hari dan tanggal; meski seandainya yang lain yang menyebutkannya, semuanya juga akan menyetujuinya, karena hari dan tanggal itu merupakan waktu prei mereka semua.
***
Begitulah. Pagi-pagi pada hari tanggal yang ditentukan, dipimpin Kang Ali, mereka beramai-ramai mengunjungi Mbah Hambali. Ternyata benar seperti cerita Kang Ali, tamu Mbah Hambali memang luar biasa banyaknya. Pekarangan rumahnya yang luas penuh dengan kendaraan. Dari berbagai plat nomor mobil, orang tahu bahwa mereka yang berkunjung datang dari berbagai daerah. Rumahnya yang besar dan kuno hampir seluruh ruangnya merupakan ruang tamu. Berbagai ragam kursi, dari kayu antik hingga sofa model kota, diatur membentuk huruf U, menghadap dipan beralaskan kasur tipis di mana Mbah Hambali duduk menerima tamu-tamunya. Di dipan itu pula konon si mbah tidur. Persis di depannya, ada tiga kursi diduduki mereka yang mendapat giliran matur.

Ternyata juga benar seperti cerita Kang Ali, Mbah Hambali memang nyentrik. Agak deg-degan juga rombongan Rizal cs melihat bagaimana "orang pintar" itu memperlakukan tamu-tamunya. Ada tamu yang baru maju ke depan, langsung dibentak dan diusir. Ada tamu yang disuruh mendekat, seperti hendak dibisiki tapi tiba-tiba "Au!" si tamu digigit telinganya. Ada tamu yang diberi uang tanpa hitungan, tapi ada juga yang dimintai uang dalam jumlah tertentu.

Giliran rombongan Rizal cs diisyarati disuruh menghadap. Kang Ali, Pak Aryo, dan Rizal sendiri yang maju. Belum lagi salah satu dari mereka angkat bicara, tiba-tiba Mbah Hambali bangkit turun dari dipannya, menghampiri Rizal. "Pengumuman! Pengumuman!" teriaknya sambil menepuk-nepuk pundak Rizal yang gemetaran. "Kenalkan ini calon menantu saya! Sarjana ekonomi, tapi nyufi!" Kemudian katanya sambil mengacak-acak rambut Rizal yang disisir rapi, "Sesuai yang tersurat, kata sudah diucapkan, disaksikan malaikat, jin, dan manusia. Apakah kau akan menerima atau menolak takdirmu ini?"

"Ya, Mbah!" jawab Rizal mantap.
"Ya bagaimana? Jadi maksudmu kau menerima anakku sebagai istrimu?"

"Ya, menerima Mbah!" sahut Rizal tegas.
"Ucapkan sekali lagi yang lebih tegas!"

"Saya menerima, Mbah!"
"Alhamdulillah! Sudah, kamu dan rombonganmu boleh pulang. Beritahukan keluargamu besok lusa suruh datang kemari untuk membicarakan kapan akad nikah dan walimahnya!"

Di mobil ketika pulang, Rizal pun dikeroyok kawan-kawannya.
"Lho, kamu ini bagaimana, Zal?" kata Pak Aryo penasaran. "Tadi kamu kok ya ya saja, seperti tidak kau pikir."

"Kau putus asa ya?" timpal Budi. "Atau jengkel diledek terus sebagai bujang lapuk, lalu kau mengambil keputusan asal-asalan begitu?"
"Ya kalau anak Mbah Hambali cantik," komentar Yopi, "kalau pincang atau bopeng, misalnya, bagaimana?"

"Pernyataanmu tadi disaksikan orang banyak lho," kata Eko mengingatkan. "Lagi pula kalau kau ingkar, kau bisa kualat Mbah Hambali nanti!"
"Jangan-jangan kau diguna-gunain Mbah Hambali, Zal!" kata Andik khawatir.

Seperti biasa, Rizal hanya diam sambil senyum-senyum. Kali ini tidak seperti biasa, Kang Ali juga diam saja sambil senyum-senyum penuh arti.

Rembang, 2004
KH. A. Mustofa Bisri
From : www.gusmus.net

Selengkapnya.....

16 Oktober 2008

Doa Sulthonul Auliya' Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili 4

Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyanyang

Wahai Allah...
Sesungguhnya Aku memohon Kepada-Mu dengan keagungan Nabi Muhammad yang terpilih, dan Nabi Ibrahim yang memenuhi janji, dan dengan kehormatan setiap rasul, Nabi, Shiddiq (orang yang sangat benar), Wali, Syahid, juga Shalih (orang Saleh) dan taqiy (orang yang taqwa), dan dengan kehormatan nama-nama Agung dan dengan Asma’ kesemuanya

wahai Allah..........
aku mohon kepada-Mu, hapuskanlah makhluk-makhluk ini dari hati kami,
jadikanlah mereka didalam rahasia kami bagaikan debu diudara,
dan bimbinglah kami pada tuntunan para nabi-Mu dan para manusia pilihan-Mu serta orang-orang yang taqwa kepada-Mu baik secara sembunyi maupun nyata.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”

Selengkapnya.....

14 Oktober 2008

Menyongsong Perdamaian Dunia dengan Sufisme Islam

Dunia sufi, sebagai inti sari Islam, sebenarnya berpotensi besar untuk berkontribusi bagi terciptanya perdamaian dunia. Dengan menyelami sufisme, umat Islam diharapkan tidak lagi mencerna suatu masalah dari apa yang tampak di permukaan, tetapi dapat memandang segala sesuatunya dari sisi hakikat. "Melalui sufisme, manusia diajak untuk berserah diri secara total kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa," ujar KH Luqman Hakim (46), pembimbing dan pengajar dunia sufi di Jakarta.

Bagi sufisme, proses menjalani takdir kehambaan merupakan hal penting. Ketika nilai-nilai sufisme sudah dipraktikkan dalam diri, seseorang bisa menjadi semakin spiritualis. "Ia tidak lagi akan kaku di dalam memandang segala persoalan," tutur Kiai Luqman, yang juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Sufi serta jadi pengasuh majelis pengajian sufi di Jabodetabek. Kelenturan di dalam memandang suatu persoalan itulah yang pada akhirnya diharapkan dapat berkontribusi bagi upaya-upaya menciptakan perdamaian dunia.

SP berkesempatan berbincang dengan KH. Luqman Hakim di The WAHID Institute, seusai pengajian "Sufi Islam dan Perdamaian Dunia" yang diselenggarakan untuk menyambut ulang tahun ke-4 The WAHID Institute, Senin (8/9) malam.

Apa inti sari pengajaran di dunia sufi, berikut wawancara khusus SP dengan KH. Luqman Hakim, sang Pembimbing dan pengajar sufisme.

Mengapa tertarik menekuni sufisme?

Sufisme adalah pilihan yang tidak ditekuni banyak orang. Dunia sufi itu sebenarnya soal nucleus, yakni inti sari Islam itu sendiri. Spiritnya. Kami mencoba membangun sumber-sumber air yang lebih jernih di Jakarta sebagai wilayah perkotaan, supaya keterasingan seseorang dalam kehidupan per-kotaan tidak membikin dia kian gersang secara spiritual.

Ada ayat yang sering dikutip kaum pluralis, yakni, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Hujurat:13)".

Isilah li ta'arafu dalam ayat itu maknanya banyak sekali. Tetapi, dalam perspektif sufi, li ta'arafu bukan sekadar kenal-mengenal dan saling mencerdaskan, melainkan juga saling mengenalkan kemakrifatan Allah kepada sesama.

Untuk mengatasi kegersangan jiwa, apa yang bisa dilakukan dengan sufisme?

Ketika jiwa gersang, manusia sedang melesat keluar dari orbit spiritnya. Dia mencoba membangun kerajaan sendiri, atau planet-planet sendiri, di dalam hidup ini. Manusia kemudian terlepas dari fitrahnya.

Dunia sufi adalah dunia paling primordial dalam spirit dunia Islam, yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, yang kemudian disempurnakan para sufi. Saya hingga sekarang masih optimistis, nilai-nilai sufistik adalah nilai-nilai yang bisa mendamaikan dunia. Sebab, sufi memandang segala sesuatu tidak dengan kaku. Misalnya, kotoran bagi orang-orang syariat tentu dipandang sebagai najis yang harus disingkirkan. Tetapi, sufi tidak memaknai kotoran cuma dengan cara seperti itu. Bagi penganut sufisme, kotoran tidak semata-mata dipandang najis, tetapi bisa juga untuk pupuk.

Bisa disimpulkan sufisme memandang segala sesuatu tidak dari tampilan permukaan, tetapi dari hakikat?

Dalam wacana sufi ada pengungkapan yang berbunyi semacam ini, "Cahaya para sufi mendahului wacananya". Sementara itu, para ulama cenderung punya pendekatan, "Wacana para ulama dan cendekiawan mendahului cahayanya". Jadi, para sufi berpendapat, bukan karena adanya dorongan 'oh, enaknya saya berkata seperti itu' lalu ia berkata seperti itu, tetapi memang karena sudah seharusnya ia berbicara seperti itu.

Munculnya wacana menjadi bagian sistematik kosakata yang bergantung pada kebiasaan-kebiasaan intelektual seseorang. Kalau dia seorang penyair, kalimat-kalimatnya menjadi syair yang indah. Wacana hanya menjadi semacam screen.

Banyak ulama berpendapat, tasawuf hendaknya didalami jika telah memiliki fondasi syariat yang kuat. Anda sepakat?

Sufisme tidak melakukan pemosisian semacam itu. Manusia kenyataannya adalah satu kesatuan organisme, sehingga baik hakikat maupun syariat, harus berjalan berbarengan. Bagi sufi, manusia mempunyai aspek lahiriah dan batiniah. Apabila berpuasa, misalnya, kita harus ikhlas. Salat juga harus khusyuk. Bagi saya, sufisme berada di wilayah khusyuk, ikhlas, dan rela.

Mendalami sufisme tidak harus dihadapkan pada persoalan manakah yang harus didahulukan, apakah hakikat ataukah syariat. Maka, dibutuhkan seorang mursyid, sang pembimbing yang bisa menata perilaku pertumbuhan batin seseorang dengan Tuhannya, Allah. Di bawah bimbingan seorang mursyid, diharapkan tidak ada konflik antara pikiran dan hati.

Tetapi, bagaimana kita bisa mendalami hakikat sesuatu apabila syariat saja belum sempurna dilaksanakan?

Sepanjang manusia masih terikat ruang dan waktu, aspek lahiriah berupa pelaksanaan syariat memang harus semacam itu. Kalau manusia tidak kenal ruang dan waktu, oleh syariat dia tidak diwajibkan. Misalnya, orang gila, pingsan, atau tertidur, tidak diwajibkan salat.

Kesadaran ruang dan waktu pasti hubungannya dengan aspek fisikal. Tuhan mewajibkan orang salat karena manusia masih berada di dunia. Alam fisikal semesta ini bergantung pada orang salat. Tidak heran apabila ada ungkapan bahwa kiamat akan ditunda sepanjang ada manusia masih menyeru, "Allah, Allah, Allah!"

Salat berbentuk sujud dan rukuk karena memiliki makna-makna luar biasa yang berhubungan dengan gerak-gerik kosmologis dan astrologis, yaitu semesta raya ini. Kalau umat Islam sepakat, bahwa untuk selama satu jam seluruh umat Islam di bumi ini berhenti salat, saya yakin planet-planet di seluruh alam semesta ini akan bertubrukan. Sebab, salat memang aspek lahiriah yang harus ditunaikan. Sufisme itu sendiri hanya ingin mengantarkan, supaya ketika orang salat secara lahiriah, batin dia juga harus ikut salat.

Pencapaian apa yang diharapkan bisa diraih dengan mendalami sufisme?

Sufisme sebenarnya hanya untuk memosisikan kembali bahwa kita, manusia, adalah hamba dengan segala haknya, dan Allah adalah Tuhan dengan segala hak-Nya. Jadi, jangan sampai ada lagi pertanyaan ketika manusia menghadap Tuhan nanti. Sebab, ketika besok kita menghadap Allah, tidak akan ada lagi pertanyaan dari diri kita begitu sampai di hadapan Dia. Yang ada hanya "bengong abadi" dalam transformasi kenikmatan yang terus-menerus.

Penyadaran-penyadaran itu perlu mendekonstruksi cara pandang kemudian. Misalnya, mayoritas umat Islam selalu mengandalkan amal kebajikan. Seakan-akan amal kebajikan itu paspor untuk masuk ke surga. Dunia sufi membongkar hal-hal semacam itu. Dinolkan kembali. Jadi, yang diandalkan manusia itu seharusnya yang menciptakan amal kebajikan, yakni Allah. Yang diandalkan bukanlah amal kebajikan semata.

Penyerahan diri secara total kepada Tuhan apakah tidak cukup dilakukan dengan syariat?

Tidak. Ada kalimat Imam Maliki yang mengatakan, "Siapa yang melakukan syariat tanpa tasawuf, dia bisa fasik". Artinya, dia menjadi orang yang keras kepala, sombong, merasa paling hebat dan benar sendiri. Sebaliknya, "Siapa yang bertasawuf tanpa bersyariat, dia akan zindiq". Di situ, kehadiran Tuhan hanya dipersepsikan secara kebatinan belaka. Cuma semata-mata berbekal eling. Sufisme berupaya memosisikan kembali, bahwa jika manusia mengenal Tuhan itu Maha Esa, maka apa hubungan diri dia dengan keesaan Tuhan itu sendiri.

Saya berpendapat, sufisme mengalami penyimpangan kalau dia meninggalkan syariat. Memang, ada orang yang kelihatan tidak bersyariat. Tetapi, hal itu karena dia sudah melesat dari batasan batasan ruang dan waktu. Ada suasana ekstase. Tetapi, suasana ekstase itu pun merupakan proses, dan bukan sesuatu yang bersifat final.

Bagaimana sufisme Islam bisa berkontribusi bagi perdamaian dunia?

Sufisme adalah salah satu nilai yang kalau dipraktikkan seseorang, maka dia bisa semakin spiritualis apa pun profesinya. Sebab, di dalam sufisme, ada proses perlawanan terus-menerus terhadap diri sendiri. Dari sinilah seseorang membangun paradigma atau cara pandang hidup yang sering kali jadi berbeda.
Ada berbagai nilai yang ingin saya kembangkan dalam literatur-literatur komunitas sufi, misalnya "Doa lebih utama daripada dikabulkan", "Berjuang lebih utama daripada sukses", dan "Beribadah lebih utama daripada pahala". Sebab, orang-orang sering hanya mencari ijabah, pahala, dan sorga. Itu semua adalah nafsu. Bagi sufisme, yang terpenting adalah proses menjalani takdir kehambaan.

Dari sudut pandang sufisme, bagaimana Anda memandang umat Islam di Indonesia saat ini?

Ada posisi umat Islam di negara ini yang mirip orang "kebelet" mau ke kamar kecil. Saking tidak sabaran, ia menggedor-gedor pintu. Islam "kebelet" ini dengan modal pengetahuan dia yang sedikit tentang Islam, ingin agar segala sesuatunya selesai atas nama Islam.

Nah, setelah masuk ke bilik air, ada yang namanya Islam "ngeden" (mengejan, Red). Ia paksakan segala sesuatunya atas nama Islam, tetapi sesungguhnya itu nafsu belaka.

Para sufi sering kali menganjurkan anekdot itu. Ketika ingin menghadap Tuhan, jangan kita seperti orang "ngeden". Orang yang sangat ingin cepat selesai, kepingin instan. Ada ayat yang sering diklaim oleh para penganut Islam "kebelet" ini, yaitu "Masuklah Islam secara kaffah". Tetapi, bagi para sufi, lebih tepat jika anjuran yang disampaikan kepada manusia adalah "Masuklah ke dalam perdamaian secara total".

Mengapa konflik kekerasan banyak terjadi di negara-negara Islam, padahal tidak sedikit di antara mereka yang mengenal sufisme?

Harus diingat, perdamaian semu juga sedang berkembang pesat. Artinya, perdamaian hipokrit. Seakan-akan ada perdamaian. Ini sama halnya dengan demokrasi semu, yakni seakan-akan berdemokrasi. Di dunia Islam juga ada hal-hal semu semacam itu. Maka, saya cenderung menyebutkan, "Masuklah dalam perdamaian secara total", dan bukannya "Masuklah dalam Islam secara kaffah
(total, Red)".

Di sini, paradigma perdamaian dalam dunia sufi mengacu pada perilaku. Sebab, hal ini yang akan membangun sebuah peradaban atau kultur. Hal ini harus dibangun melalui pendidikan tentang hak-hak kehambaan. Sebab, dengan kesadaran hak-hak sebagai seorang hamba, manusia akan punya "perasaan memiliki", yang pada akhirnya memunculkan perasaan cinta secara terus-menerus bersama Tuhan. Melalui kebersamaan dengan Tuhan, kehidupan secara organis akan proporsional. Kalaupun terjadi sesuatu yang menyangkut tindak kekerasan atau antiperdamaian, semuanya akan diselesaikan dengan cara-cara seperti paradigma sufi.

PEWAWANCARA: ELLY BURHAINI FAIZAL
Suara Pembaruan, Ahad, 14 September 2008)


Selengkapnya.....

08 Oktober 2008

Bertemu Nabi Khidir ????

Sore itu sehabis adzan ashar tidak seperti biasanya supi’i pulang dari kerjanya, ia buru-buru untuk menghidupkan kendaraannya dan setelah itu dipacu dengan kecepatan sedang. Sebenarnya supi’i tidak tahu pasti kemana tujuannya untuk meninggalkan kantor tempat ia bekerja sebelum jam pulang kerjanya. Ia cuma menjalankan kendaraannya saja keliling-keliling kota, jalan, jalan dan jalan. Ia sendiri tidak tahu, kreteg dihatinya ia pingin pergi gitu aja. Ya sudah jadilah begini puter-puter nggak tahu artinya dan meng-ukur panjang jalan yang dilaluinya.

Tanpa sadar ia lihat arlojinya jam sudah menunjukkan pukul empat sore lebih, segera ia istighfar berkali-kali karena ia belum sholat ashar. Ia biasanya melakukan sholat ashar di kantornya. Kali ini supi’i sedikit sadar, segera ia berjalan lagi dan memacu kendaraannya dengan kecepatan yang sedikit lebih kencang dibandingkan tadi. Kali ini tujuannya jelas, ia harus mencari masjid untuk melakukan sholat ashar.

Hingga akhirnya ia sampai di pinggiran kota dan menemukan sebuah masjid tua. Masjid yang sederhana, tidak ada menara tetapi cuman kubah kecil yang diatasnya ada lafadz Allah. Sekilas memang nampak seperti rumah biasanya. Lafadz diatas kubah itulah yang menunjukkan bahwa itu sebuah masjid. Segera supi’i memarkir kendaraannya. Sekali lagi ia pandangi masjid itu dari tempat ia memarkir kendaraannya. Ia pejamkan matanya, aneh begitu damai supi’i rasakan. Ia merasakan begitu masjid itu sangat bercahaya.

“Bismillahir rohmannir rohiim”, mantap supi’i menuju masjid. Ia tata sandal terbalik seperti yang diajarkan di PETA (maklum Supi’i selalu teringat kata-kata yang ditulis ditembok depan Musholla PETA “Yen kepingin noto ati, totonen ...... sandal, baqiyak, sepatumu disik ; iki contone”). Ketika berdiri setelah menata sandal itu supi’i semakin terkejut dengan datangnya seseorang tua berpakaian putih dan bersarung hijau dari dalam masjid menuju serambi untuk menyambut dirinya. “Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh, Alhamdulillah nak supi’i sudah sampai. “wa wa wa alaikumus salam”, jawab supi’i kaget. Dalam hatinya ia bertanya-tanya siapakah beliau hingga tahu namanya segala. Sungguh supi’i sama sekali belum mengenal orang itu. Apalagi beliau seperti memang menunggu kedatangannya. “Ayo nak supi’i itu tempat wudlunya cepat wudlu entar keburu asharnya habis. Bapak tunggu didalam masjid ya”. “baik pak”, jawab supi’i.

Segera supi’i pergi ke tempat wudlu, tempat wudlunya pun sangat sederhana. Tidak ada kran air yang ada cuman kolam besar 3 kali 2 meter yang dipakai bersama-sama untuk berwudlu. Segera supi’i berwudlu dia berniat wudlu untuk menghilangkan hadas kecil karena Allah. Meskipun supi’i masih punya wudlu (Supi’i selalu mendawamkan batal wudlu ajaran PETA) tetapi supi’i selalu memperbarui wudlu ketika akan melakukan sholat.

Setelah berdo’a sehabis wudlu segera supi’i menuju ke dalam masjid untuk menghadap bapak tua itu. Tampak jelas sekali masjid itu sangat sederhana sekali. Dindingnya bercat putih sedikit kusam, lantainya bukan dari keramik apalagi pualam atau marmer tetapi dari ubin yang berwarna kuning, bahkan ada bagian lain ubinnya sudah hilang dan cuman di tambal dengan semen aja. Sambil berjalan supi’i pandangi bapak tua itu. “Subhanallah” dalam hatinya supi’i merasakan bapak tua itu wajahnya sangat bercahaya. Mungkinkah cahaya masjid ini berasal dari wajah bapak tua itu ?

“Silahkan nak supi’i sholat dulu disamping bapak, kalau bapak sih sudah sholat ashar tadi. Setelah Sholat ashar itu, bapak tua itu kemudian berkata, “Nak sekarang mari kita berdo’a dan nak Supi’i tinggal mengamini saja”. “baik pak” jawab supi’i. Setelah berdoa itulah kemudian bapak tua memegang dada supi’i sambil berkata “kamu harus sabar..., kamu harus sabar...., kamu harus sabar ya...., setelah itu bapak tua tadi meletakkan jempol tangan kanannya ke langit-langit mulut supi’i yang sebelumnya ditempelkan dari langit-langit mulutnya. Supi’i cuma bisa menurut saja apa yang dilakukan oleh bapak tua tadi terhadap dirinya. Setelah itu bapak tua tadi berdoa lagi dan supi’i pun turut mengamininya hingga selesai. Setelah itu bapak tua itu berkata kepada supi’i : “ kamu harus sabar ya...., istiqomah ya..., sekarang nak supi’i segera pulang karena hari sebentar lagi menjelang malam. “baik bapak terima kasih atas semuanya” sambil kemudian supi’i mencium tangan bapak tua itu untuk berpamitan. Terasa halus sekali tangan bapak tua itu seperti halusnya kulit bayi, guman supi’i. “assalamu’alaikum” kata supi’i. “Wa alaikumus salam warohmatullohi wabarokatuh” jawab bapak tua itu.

Supi’i pun segera berdiri untuk pulang, sesampainya di serambi masjid diapun kembali lagi karena penasaran dan pingin bertanya kepada bapak tua itu siapakah sebenarnya Beliau. Tetapi ketika dilihat sekeliling ruangan masjid dia tidak menemukannya, bahkan tidak ada seorangpun didalam masjid itu kecuali dia. Kemana perginya bapak tua itu dia gak tahu, datang tiba-tiba dan hilangnyapun tiba-tiba. Supi’i cuma bisa menerka-nerka bapak tua itu. Mungkinkan seorang waliyullah, atau mungkinkan malaikat, atau mungkin juga nabi khidir yang selalu ditawasulinya setiap hari minimal tiga kali ketika membaca aurod syadziliyah ? Wallahu ‘alam bishowab.

Selengkapnya.....

22 September 2008

Mengenal Allah Melalui Allah


Peristiwa paling monumental dalam sejarah dunia adalah turunnya Alquran kali pertama di Gua Hira'. Pertemuan Rasulullah Sayyidina Muhammad SAW dengan Malaikat Jibril saat itu, bertepatan dengan Lailatul Qadr, merupakan representasi dari awal sekaligus akhir perjalanan waktu dunia yang terbatas, menuju Waktu Ilahi yang tiada hingga, azali dan abadi.

Betapa tidak. Ketika Jibril AS memeluk beliau sambil mendiktekan bacaan, "Iqra'!," lalu dijawabnya, "Maa anaa bi qaari'" (Aku tak bisa membaca). Sebuah jawaban teologis, filosofis, dan sekaligus sufistik. Disebut teologis karena ketika itu Rasulullah berada di hadapan wajah Allah, sehingga yang ada hanyalah Tauhidullah, bahkan dirinya sendiri sekali pun sirna dalam Tauhid sampai harus berkata, "Aku tak bisa membaca..."

Begitu juga sangat filosofis, karena dunia filsafat tak habis-habisnya mengurai peristiwa itu, sebagai landasan utama peradaban tauhid di muka bumi, dan setiap dimaknai filosofis, muncul pula cahaya baru di balik makna yang tersembunyi.

Bahkan, juga sangat sufistik, karena "Al-qaari al-haqiqi huwa Allah ta'ala", Sang pembaca yang hakiki adalah Allah ta'ala. Karena Dialah Yang Berkalam dan Yang Maha Tahu makna kalam yang sesungguhnya.

Sampai ketiga kali, di saat Jibril AS meneruskan, Iqra' bismi robbikalladzi khalaq.... dst Nabi Muhammad SAW baru bisa menirukan. Di sinilah rahasia asma Allah tersembunyi -dan dalam urgensi ma'rifatullah (mengenal Allah) terurai , bagaimana Rasulullah SAW mampu membaca ketika kelanjutan ayat kalimat pada ayat itu tebersit kalimat. Bismi Rabbik (Dengan asma Tuhanmu). Seandainya boleh ditafsirkan, "Bacalah Alquran ini dengan nama Tuhanmu. Siapa nama Tuhanmu? "Allah!", dengan kata lain, bacalah Alquran ini dengan Allah... Allah... Allah...".

Memang demikian, akhirnya tak satu pun dari seluruh tinta yang menghabiskan tujuh lautan ruhani maupun tujuh lautan fisika, mampu menuliskan, melukiskan, bahkan menggambarkan dahsyatnya ilmu Allah dalam kalamullah itu. Yang ada hanyalah gemuruh jiwa yang menggetarkan seluruh jagat semesta ruhani dan jasmani, dalam kristal jantung Rasulullah SAW, sampai beliau menggigil dalam fana'ul fana'. Karena Wayabqqo wajhu rabbika dzul-jalaali wal-ikraam, (Yang ada hanyalah wajah Tuhanmu Yang Maha Agung nan Mulia) ketika itu.

"Zammiluuni... Zammiluuni...." Selimuti aku.... selimuti aku.... Seakan Rasulullah SAW, berkata, "Selimuti aku.... selimuti... karena Cahaya dari Maha Cahaya-Mu yang memancar di seluruh jagat cerminku. Selimuti aku, selimuti...., betapa senyap, sunyi, beku, dingin, tiada tara dalam Genggaman-Mu.... Selimuti... Oh, selimuti.... dan akulah sesungguhnya selimut-Mu.... Akulah Nama-Mu, akulah Ismu Rabbik itu... Oh....."

Saat itu, dan mulai kala itu pula, tiada hari tanpa munajat, tiada kondisi dan waktu, melainkan adalah waktu-waktu penuh liqa' Allah (pertemuan dengan Allah). Maka ismu Rabbik (nama Tuhanmu) itu melimpah begitu dahsyatnya tanpa bisa terucap, tertulis, dan terbayang, menjadi al-asma'ul husna, di antaranya asmaul husna dalam surat Al-Hasyr yang ada dalam Alquran.

Peristiwa Hira' itu juga awal mula sebuah ajaran tentang zikrulah dimulai. Gemuruh zikrullah telah menyelimuti seluruh nadi, ruh, dan sirr (rahasia batin) Rasulullah SAW, dalam hamparan jiwanya. Karena hanya jiwa-jiwa yang beriman yang bisa menjadi istana ilahiyah.Bahkan, dari 99 al-asmaul husna yang pernah dihaditskan oleh Rasulullah SAW, dibaca oleh Asy-Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu 'Araby, kemudian tertulis dalam kitabnya, An-Nuurul Asna Bi-MunajaatiLlaahi Bi-Asmaail Husnaa. 99 Munajat yang begitu indah, sekaligus menggambarkan huquq ar-rubuiyyah (Hak-hak Ketuhahan) dan huqul 'ibad wal 'ubudiyah (hak-hak kehambaan dan ubudiyah).

Misalnya, ketika membaca asma-Nya, "Allah", Ibnu 'Araby bermunajat: Ya Allah, tunjukkan padaku, bersama-Mu, kepada-Mu. Limpahilah rizki keteguhan (keketapan) di sisi Wujud-Mu, sepanjang diriku dengannya, untuk beradab di hadapan-Mu....

Yaa... Rahmaan, kasihanilah daku dengan pemenuhan paripurna nikmat-nikmat-Mu, tersampainya cita-cita ketika menahan cobaan-cobaan dahsyat dan ujian-Mu.

Yaa... Rahiim, sayangilah daku dengan memasukkan ke syurga-Mu dan bersuka ria dengan taqarrub dan memandang-Mu...

Yaa Maalik, Wahai.... Diraja dunia dan akhirat, dengan kekuasaan mutlak paripurna, jadikan diriku sampai di jannatun na'im dan Kerajaan Agung dengan beramal penuh total.

Yaa.. Quddus, sucikan diriku dari aib-aib dan bencana, sucikan diriku dari dosa-dosa dan kejahatan diri.

Yaa... Salaam, selamatkan daku dari seluruh sifat yang tercela, dan jadikan diriku golongan orang yang datang kepada-Mu dengan qalbun saliim.

Ya... Mu'min, amankanlah daku di hari yang paling mengejutkan, limpahilan rizki padaku dengan bertambahnya iman kepada-Mu, sebagai bagianku.

Yaa... Muhaimin, jadikanlah diriku sebagai penyaksi dan pemandang atas pemeliharaan-Mu, dan jadikanlah daku sebagai pemelihara dan pemegang amanah-amanah-Mu dan janji-janji-Mu.

Yaa...Aziz, jadikanlah daku dengan Perkasa-Mu termasuk orang-orang yang merasa hina di hadapan-Mu dan berikanlah padaku amaliah dengan amal-amal akhirat di sisi-Mu.

Yaa... Jabbaar..., paksalah diriku untuk berselaras dengan kehendak-Mu, dan janganlah Engkau jadikan aku sebagai pemaksa pada hamba-hamba-Mu.

Yaa.. Mutakabbir, jadikanlah daku termasuk orang-orang yang tawadlu' atas kebesaran-kebesaran-Mu, tergolong orang-orang yang tunduk atas hukum dan keputusan-Mu.

Yaa... Khaaliq, ciptakan pertolongan dalam hatiku untuk taat kepadaM-u, dan lindungi daku dari kezaliman dan pengikutnya di antara makhluk-makhluk-Mu.

Yaa... Baari', jadikanlah diriku golongan yang terbaik dari manusia, dan riaslah daku dengan akhlak baik yang diridai.

Yaa... Mushawwir, rupakanlah diriku dengan bentuk ubudiyah pada-Mu, dan cahayailah daku dengan cahaya-cahaya makrifat-Mu. Dan seterusnya sampai sembilan puluh sembilan nama Allah.

Itulah implementasi lain dari "Berakhlaqlah dengan akhlaq-akhlaq Allah". Maka al-asmaul husna adalah hampiran pertama, ketika seorang hamba ingin merespons akhlaqullah, melalui munajat-munajat sebagaimana digambarkan Ibnu 'Araby. Membaca, sekaligus aksentuasi dalam kehidupan nyata bahwa pada diri manusia harus "bersiap diri" untuk menjadi limpahan asma-Nya, agar mengenal-Nya. ***

KH. M. Luqman Hakiem, MA
Jawa Pos, Minggu 21 September 2008
Selengkapnya.....

21 September 2008

Doa Sulthonul Auliya' Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili 3


Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang

Wahai Allah.....
Wahai Yang Maha Terpuji, Wahai Yang Maha Mulia
Wahai Allah......
Wahai yang Maha Pemurah, Wahai yang Maha Baik, Wahai yang Maha Penyayang
Wahai Allah......
Wahai Yang Maha Perkasa, Wahai Yang Maha Kokoh


Anugerahilah aku dari Rahmad-Mu, sesuatu yang dengannya aku dapat memuji-Mu, sehingga aku termasuk orang-orang yang mukmin.
Berilah aku rizki dari kelemahlembutan kemuliaan-Mu, sesuatu yang dengannya aku menjadi kuat dan dapat mengangkat dan terangkat didalam semesta alam.
Anugerahilah aku dari kemurahan-Mu, sesuatu yang dengannya aku menjadi orang baik dan taqwa dari golongan orang-orang sholeh.

Wahai yang Maha Kasih Sayang, Wahai yang Maha Lembut
Aku mohon kelemahlembutan dengan kelemahlembutan yang tidak dapat dilihat oleh persangkaan para penyangka.

Wahai Allah......
Aku menyakini Engkau Maha Penyanyang ketika aku tidak memohon kepada-Mu, maka bagaimana aku tidak menyakini Engkau Maha Penolong, padahal aku selalu memohon kepada-Mu ? Siapakah kiranya bagiku jika Engkau memutuskan hubungan denganku ?
Dan Siapakah kiranya bagiku kalau Engkau tidak menyayangi aku ?
Maka pertemukanlah aku dari manapun arah yang Engkau ketahui dan tidak aku ketahui.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Sholawat Allah dan salam-Nya tetap kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, kepada para keluarga dan para sahabat-Nya, semuanya.
Selengkapnya.....

17 September 2008

Gus Jakfar


Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.

"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya."
"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?'. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."

"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal."

"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."

"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. "Waktu itu, tak ada hujan tak ada angina, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi."

"Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu."
***
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.

"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?"

"Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu;" kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah."

"Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau."

Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut.

Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan."
"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah."

"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau."

"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.

"Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing."

"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk."

'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?'

'Kiai Tawakkal.'

'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.'

"Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu."

"Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."

Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!"

"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka."

"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya."

"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang."

"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.

'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan".

"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."

"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah."

'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya."

"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.'

Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.

'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?'

Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak'

Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.

'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini."

"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.'

'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru.

'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.'

Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri."

Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.

From : www.Gusmus.net

Selengkapnya.....

16 September 2008

Tanpa Kita sadari kita makan dan minum menggunakan tangan kiri

Dalam kitab shahih muslim dijelaskan Imam muslim meriwayatkan hadist dari Ibnu ‘umar bahwa nabi muhammad saw pernah bersabda : "Jika seseorang makan, maka hendaklah ia makan dengan menggunakan tangan kanannya, jika ia minum, maka hendaklah ia minum dengan menggunakan tangan kanannya. Alasannya karena setan makan dan minum dengan menggunakan tangan kirinya".

Salah satu adab ketika makan dan bagi seorang muslim adalah makan dan minum dengan menggunakan tangan kanan, tetapi tanpa kita sadari dan kita rasakan atau malah kita sadar sesadar-sasadarnya sering kali kita justru makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri. Berikut ini beberapa contohnya :
1. Ketika kita makan dengan menggunakan sendok dan garpu. Garpu yang berada di tangan kiri sering kali juga ikut kita gunakan untuk makan, entah itu untuk sekedar mengambil lauknya.
2. Ketika kita makan bistik /beef steak, dimana tangan kanan memegang pisau, sedangkan tangan kiri memegang garpu, daging yang kita iris dengan memakai pisau di tangan kanan, kemudian kita ambil dan kita makan dengan menggunakan garpu yang ada di tangan kiri.
3. Ketika kita makan nasi dan ada hidangan pelengkap krupuk. Sering kali kita makan krupuknya dengan menggunakan tangan kiri.
4. Ketika kita makan dengan tidak menggunakan sendok dan garpu, ditengah kita makan kita ingin minum entah itu karena kesereten (jawa) atau yang lainnya maka kita sering minum dengan menggunakan tangan kiri.
5. Ketika kita makan kue/gorengan (Ote-ote/tahu isi) dengan pelengkap lombok. Gorengan kita makan dengan tangan kanan tetapi lombonya kita makan dengan menggunakan tangan kiri.
6. Ketika kita makan pisang. Sering kali pisang kita pegang dengan tangan kiri dan tangan kanan bekerja untuk mengelupas kulitnya, setelah itu pisang langsung kita makan dengan menggunakan tangan kiri.
7. Ketika kita minum air mineral dalam botol. Seringkali botol kita pegang dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan bekerja untuk membuka tutup botolnya, setelah itu langsung kita minum dengan menggunakan tangan kiri.
8. Ketika kita minum air mineral kemasan gelas. Seringkali gelas kita pegang dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan bekerja untuk meletakkan sedotannya ke gelas tersebut, setelah itu air langsung kita minum dengan menggunakan tangan kiri.

Semoga kita terbiasa makan dan minum dengan menggunakan tangan kanan. Dan semoga apa yang kita makan dan minum menjai berkah. Amiin.

Selengkapnya.....

Ternyata Seperguruan...........

Sore ini supi’i teringat akan janjinya bahwa ia harus segera pergi ke teman barunya, ya teman baru supi’i ini adalah seseorang yang tinggal di pinggiran kota surabaya. Namanya adalah Cak i’im. Supi’i secara tidak sengaja berkenalan dengannya. Ceritanya pada saat itu kebetulan supi’i pingin ke toilet untuk buang air kecil. Setelah selesai dari toilet seperti biasanya supi’i segera mengambil air wudlu di tempat wudlu (maklum supi’i berusaha mengamalkan batal wudlu yang merupakan jurus dasar PETA), setelah itu supi’i berniat untuk membayar.

Setelah membayar inilah supi’i melihat ada lembaran wirid hizb kahfi di meja tempat ia membayar. Timbul penasaran pada diri supi’i untuk mengetahui tentang itu. Hal ini dikarenakan supi’i adalah juga pengamal hizb kahfi tersebut. Setelah berkenalan dan berbincang-bincang maka barulah tahu bahwa cak i’im ini ternyata adalah seperguruan dengan dirinya tetapi lewat pintu yang berbeda. Ya pekerjaan cak i’im ini adalah penjaga toilet di pojok terminal di surabaya.

Hari ini supi’i akan kembali bertemu dengan cak i’im. Supi’i pingin semakin akrab dengan teman barunya ini. Profile cak i’im ini adalah kalem bahkan cenderung sangat kalem sekali, untuk mendengar ia bicara aja supi’i harus mendekatkan telinganya supaya terdengar jelas. Selain itu cak i'im adalah type orang yang rendah hati, selalu senyum dan membuat orang-orang sungkan dan segan kepadanya.

Bukan hanya profile cak i’im itu yang membuat supi’i kagum kepadanya, tetapi lingkungan kerja dia yang membuat supi’i heran. Ketika lama menemani cak i’im untuk menjaga toilet ini. Barulah sadar bahwa lingkungan yang cak i’im tempati untuk bekerja ini adalah lingkungan yang ekstrem bagi orang baik seperti cak i’im.

Betapa tidak, tak jauh dari toilet-toilet itu terdapat kamar-kamar yang tidak hanya di tempati oleh anak-anak jalanan yang yang tidak punya tempat tinggal, tetapi juga di tempati oleh para wanita-wanita “penghibur”. Sehingga mau ga mau orang-orang itu juga pasti akan menggunakan toiletnya cak i'im. Padahal sedianya bisnis toilet itu di khususkan bagi orang-orang yang memerlukan di terminal seperti para sopir, kondektur, kernet maupun penumpangnya.

“Sebenarnya mereka itu pada dasarnya adalah orang-orang baik, tetapi karena tuntutan ekonomi dan tipisnya iman sehingga mereka jadi begitu. Kita gak bisa berbuat apa-apa mas supi’i Cuma bisa memberikan nasihat yang santun, itupun lewat sindiran-sindiran dan mendoakannya saja, karena hidayah itu kan datangnya dari Allah”. Banyak kasus kok kalau Allah mentakdirkan hambanya berbuat maksiat agar selanjutnya bertaubat dan menjadi dekat kepada-Nya. Ada sih beberapa orang dari mereka minta tolong untuk di carikan suami agar mereka bisa berhenti dari pekerjaannya. Nah apa mas supi’i mau menjadikan istri salah satu dari mereka ?, berarti mas supi’i sudah menolong salah satu dari mereka lho.... Mendapat pertanyaan begitu supi’i menjadi gelagapan. Oh enggak cak i’im..., aku belum berpikiran ke arah situ kok, eles supi’i.

Sambil mengalihkan pembicaraan supi’i kemudian bertanya kepada cak i’im. Cak i’im kalau aku lihat sih hizib kahfi’mu berbeda dengan yang biasa aku baca, punya cak i’im Cuma diulang sedikit, sedangkan yang biasanya sekarang banyak hingga 113 kali. Trus tawasulnya juga harus ditambah yaitu syaikh Sholahuddin karena beliau sekarang Mursyid kita. Beliau menggantikan abanya syaikh Abdul Djalil Mustaqim yang telah wafat beberapa tahun lalu. Tepatnya tanggal 7 januari 2005. Oh ya ini juga saya bawakan photo copyan-nya hizib kahfi dan buku durotus salikin-nya. Tampak terlihat perubahan wajah cak i’im ketika mendengar bahwa syaikh Abdul Djalil telah wafat. Gurat-gurat kesedihan tampak semakin jelas, ia menyesal sekali kok sampai nggak tahu kalau Mursyidnya telah wafat, tampak sebutir air telah mengembang di pelupuk matanya. Sudahlah cak i’im meskipun syaikh Djalil telah tiada tapi beliau tetap mendo’akan kita kok dan terus membimbing ruhani kita semua. Kan sudah di jelaskan di alqur’an bahwa “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki”. Kalau bisa sih cak i’im segera aja sowan ke PETA sekaligus ziarah ke makam beliau. Sekalian aku informasikan kepada cak i’im kalu setiap bulan ada pengajian Al-Hikam di Masjid Al-Akbar Surabaya yang diasuh oleh KH. M. Luqman Hakim, MA dari Jakarta, setiap hari sabtu ba’da ashar, setiap minggu ke-4. Ok cak i’im karena sebentar lagi mau maghrib, aku mau sholat maghrib dulu trus langsung pulang sekalian, sekarang aku mau ke toilet dulu. Tampak terlihat ada satu kamar yang kosong, ketika supi’i mau melangkah sudah kedahuluan dari salah seorang wanita yang diceritakan oleh cak i’im. Tanpa basa-basi kemudian wanita itu berkata kepada supi’i sambil tersenyum genit “mas daripada nunggu lama mending kita masuk bersama-sama saja”. Salah tingkah supi’i mendapat tawaran seperti itu, ia Cuma berkata “ terima kasih mbak sampeyan dulu aja, aku ngantri aja gak apa-apa”, sambil tersenyum kecut dia menjawab, tetapi di hati supi’i tetap beristighfar mohon ampunan kepada Allah untuk dirinya, dan untuk mbaknya yang genit itu. Terlihat cak i’im tersenyum geli sambil membuka kedua tangannya mengisyaratkan bahwa ia tak bertanggung jawab atas apa yang barusan terjadi. Sedetik kemudian dia berkata kepada cak supi’i “baiklah sahabatku aku juga mau sholat maghrib juga, lain kali bertemu lagi, terima kasih infonya dan jangan lupa saling mendo’akan”. “sama-sama sahabatku. Semoga engkau tetap istiqomah untuk memberikan nasihat kepada mereka. Ok lain kali kita bertemu Insya Allah.

Selengkapnya.....

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template