26 Desember 2008

Rindu yang Membuncah

Gak Tahu kenapa, tiba-tiba supi’i merasa sangat kangen sekali kepada Syaikh Mursyidnya, Hadratusy Syaikh Sholahudin Abdul Djalil Mustaqim. Rindu itu begitu membuncah gak bisa ditahan lagi. Lebaran kurang beberapa hari supi’i pun nekat untuk berangkat langsung ke Tulungagung menuju pondok PETA untuk sekedar melihat Syaikh mursyid, syukur-syukur bisa bersalaman untuk mencium tangan beliau. Supi’i cuma bisa senyum-senyum sendiri membayangkan dirinya. Orang-orang kaya pada mengikuti paket umrah ramadhan ke tanah suci, tetapi supi’i cuma ke pondok PETA seminggu sebelum lebaran. Kalau dibilang suluk sih enggak, karena suluk di pondok PETA minimal adalah 10 hari.

Seminggu sudah supi’i di pondok tetapi hingga itu pula dia belum bertemu dengan Syaikh mursyidnya. Hingga pulang ke rumah supi’i pun belum bertemu dengan beliau. Meskipun tidak bertemu dengan syaikh mursyidnya Supi’i tidak begitu kecewa, baginya paling enggak sudah sampai di peta itu sudah mengobati kerinduan ruhaninya kepada sang Syaikh Mursyid, paling enggak dia sudah bisa melihat Musholla PETA tempat ia dibai’at untuk mengamalkan aurod Syadziliyah oleh sang syaikh mursyid, paling enggak ia sudah bertemu dengan Kang Wasi’, kang Jumal dan teman-teman yang lagi suluk di pondok, paling enggak ia sudah bisa berziarah kemakam Hadratusy Syaikh Mustaqim Husain dan Hadratusy Syaikh Abdul Djalil Mustaqim.

Beberapa hari lebaran hingga lebaran ketupat adalah moment yang ditunggu-tunggu murid Syadziliyah untuk silaturrahmi dengan syaikh mursyid, tetapi supi’i tidak bisa menggunakan kesempatan ini dikarenakan dia sudah ada janji dengan keluarganya. Hingga moment itupun berlalu.

Hingga kesempatan untuk bertemu dengan Syaikh mursyid itupun kembali muncul dengan adanya program silaturrahmi ke syaikh Mursyid dan beberapa kyai Syadziliyah PETA yang diadakan oleh Majelis Pengajian Cahaya Ilahi Surabaya yang dikoordinatori oleh Ibu Hj. Wiwik Malik. Rindu untuk bertemu dengan Syaikh mursyidpun kembali muncul.

Malam hari sebelum berangkat ke PETA adalah bertepatan dengan jadwal khususiyah. Setelah khususiyah itupun seperti biasa sang imam, kang wasi’ memberikan beberapa pesan bahwa besok bila di PETA ketemu atau tidak ketemu dengan syaikh mursyid itu sama saja keberkahannya, kita harus bisa menerima itu, yang penting hati kita tetap khusnudzon dan sikap kita tetap harus menjaga adab terhadap syaikh mursyid karena tentunya syaikh mursyid pastilah yang lebih tahu tentang hal ini. Pesan kang wasi’ tersebut membuat supi’i dan jamaah khususiyah yang lain semakin ridho apalagi pada kesempatan tersebut kang wasi’ juga bercerita dan memberikan beberapa contoh tentang orang-orang yang sowan ke syaikh Mursyid sebelum-sebelumnya.

Tepat sebelum azhan subuh bergema supi’i segera melaksanakan sholat tahujud ringan beberapa rokaat. Sambil menunggu adzan subuh supi’i teruskan kegiatan ibadah pada malam hari itu dengan tadarus alqur’an hingga beberapa ayat dari kitab suci itupun ia baca. Ia lihat waktu masih banyak, hingga kesempatan itupun ia gunakan untuk mandi, Ia sucikan seluruh tubuh dan hatinya, Ia guyur seluruh tubuhnya dengan niat untuk menemui syaikh mursyid sebagai adab dirinya terhadap syaikh mursyidnya dan bentuk penghormatan dan pengagungan kepada syaikh mursyidnya yang telah membimbing dirinya dan murid-murid syadziliyah yang lain untuk wushul kepada Allah azza wa jalla, tidak hanya dihantarkan ke pintu Allah tetapi langsung hingga ke hadapan Allah. Hal ini Supi’i lakukan karena Supi’i ber ittiba’ kepada apa yang dilakukan oleh Quthubul Muhaqqiqin Sulthonul Auliya’is sayyidinasy Syaikh Abul Hasan Ali Asy syadzily ketika menemui guru beliau Sayyidisy Syaikh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, rodliyallahu ‘anhuma wa ‘aada ‘alainaa mim barokatihima wa anwaarihima wa asroorihima wa ‘uluumihima wa akhlaaqihima wa nafakhaatihima fidiini wad dun-ya wal aakhihiroh, aamiina yaa robbal ‘aalamiin. Sebelum menemui syaikh Abdus Salam, beliau berhenti dan mandi di pancuran mata air sebelum puncak gunung barbatoh. Malam itu bagi supi’i mandinya menjadi terasa lain dibandingkan dengan mandi-mandi sebelumnya.

Adzan Subuh berkumandang, setelah shalat fajar dan sholat subuh serta wiridan, supi’i pun secara khusus bertawasul dengan membaca fatihah sebanyak masing-masing 41 kali yang ditujukan kepada syaikh mursyidnya, syaikh abdul Djalil, syaikh mustaqiem, dan kyai-kyai yang akan dikunjunginya. Setelah itu supi’i beristighfar sebanyak-banyaknya. Tepat pukul 05.00 supi’i berangkat menuju rumah ibu Hj. Wiwik Malik untuk seterusnya menuju pondok PETA. Dalam perjalanan menuju ke Pondok PETA itu tak henti-hentinya supi’i membaca sholawat syadziliyah, istighfar, sholawat lagi, istighfar lagi begitu terus bergantian, tetapi di dalam hatinya tetap bunyi Allah...Allah...Allah yang selalu ia zikirkan seirama dengan bunyi detak jantungnya.

Singkat cerita, alhamdulillah ketika sesampainya di Pondok PETA, jamaah langsung berziarah kemakam hadratusy syaikh Abdul Djalil dan hadratusy Syaikh Mustaqiem. Baru setelah itu kang Jumal berbicara kepada jamaah untuk di aturi pinarak oleh Syaikh Mursyid di ruang tamu beliau. Alhamdulillah ucap syukur supi’i mendengar keterangan yang disampaikan oleh kang Jumal tersebut. Dan para jamaahpun langsung menuju ruang tamu untuk menghadap syaikh mursyid.

Ketika semua telah siap, baru kemudian syaikh mursyid keluar untuk menemui jamaah MCIS (majelis Cahaya Ilahi Surabaya). Hati Supi’i berdegup lebih kencang, anehnya dzikir hati supi’i Allah...Allah....Allah juga menjadi lebih cepat dari yang tadi. Supi’ipun tidak berani lama-lama menatap Wajah Syaikh Mursyid, ia hanya menunduk dan sesekali melihat wajah teman-temannya. Tampak juga wajah Supi’ah yang meskipun tidak sampai termehek-mehek tetapi terlihat jelas di raut wajahnya sedikit mewek. Supi’i yakin bahwa supi’ah juga menahan haru rindu kepada syaikh mursyid. Raut wajah rindu yang bahagia setelah bertemu dengan syaikh mursyid. Yah haru rindu untuk dibimbing oleh syaikh mursyid menuju Allah SWT.

Sekitar satu jam lamanya syaikh mursyid memberikan wejangan kepada kami para jamaah. Selama itu pula supi’i tinggalkan semua ilmu dan amalnya, ia tidak peduli paham apa enggak yang dikatakan oleh syaikh mursyid, yang cuma ia lakukan adalah berzikir terus Allah...Allah...Allah dalam hatinya. Ya zikir itu seperti bergerak dan meluncur sendiri dalam hatinya ketika berdekatan dengan syaikh mursyid. Yang supi’i rasakan selanjutnya adalah tubuhnya terasa lebih hangat. Itulah ulama sesungguhnya, yang hatinya selalu memancarkan cahaya Ilahiyah untuk diteruskan kepada para murid-muridnya. Ulama yang bisa menyentuh hati murid-muridnya untuk selalu ingat kepada Allah. Kata-kata yang beliau ucapkan pun penuh dengan mutiara hikmah yang dalam sebagaimana air lautan yang yang tak akan pernah habis bila digunakan sebagai tinta untuk menulis hikmah dari beliau.

Meskipun pada dawuh atau wejangan beliau berkisar tentang tasawuf (secara detail apa yang didawuhkan beliau bisa anda baca disini) yaitu tentang thoreqot, masalah, bencana, istiqomah, ridho, tawakal, sabar dan iman yang beliau ucapkan dengan membuat kiasan dan perumpamaan-perumpamaan, tetapi apa yang beliau dawuhkan mampu memberikan solusi bagi para jamaah, padahal tentunya masalah atau problem para jamaah masing-masing adalah berbeda-beda. Termasuk juga ketika supi’i di dalam hati berniat bertanya tentang sesuatu yang menyangkut dirinya. Syaikh mursyidpun tahu dan langsung menjawabnya. Supi’i cuma bisa nyengir dan senyum-senyum sendiri mendengar jawaban syaikh mursyid, tentunya senyum bahagia karena sudah menemukan solusinya. Supi’i haqqul yakin bahwa para jamaah yang lain yang punya ganjelan di hatinya juga mengalami hal yang sama, persoalan dan masalah masing-masing jamaah mampu dijawab oleh syaikh mursyid meskipun para jamaah belum bertanya kepada syaikh mursyid.

Segelas sirup dan makanan ringan disuguhkan kepada kami untuk menyegarkan rasa dahaga dan lapar dari fisik kami, tetapi dawuh, nasehat dan pesan beliau mampu meyegarkan kembali ruhani kami untuk selalu semangat menuju ke Ilahi Robbi. Termasuk juga supi’i rindunya yang membuncah terasa hangus hilang terbakar oleh cahaya Sang Poros Agung Syaikh Mursyid, Hadratusy syaikh Sholahuddin Abdul Djalil Mustaqiem.


0 komentar:

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template