18 November 2008

Kharisma Kiai Thoriqot Pondok PETA Tulungagung


KabarIndonesia - Tulungagung, Sudah 38 tahun silam, KH Mustaqiem bin Hussain berpulang. Sudah tiga tahun pula, putranya, KH Abdul Djalil Mustaqiem yang meneruskan perjuangannya wafat. Namun begitu, ketokohan dan keteladanan dua kiai kharismatik dari pondok pesantren Pesulukan Tareqot Agung (Peta) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, ini seakan tak pernah terputus.

Santri yang menjadi pengikut ajarannya masih saja terus mengalir ke Pondok Tareqot yang berlokasi di Jl. KH. Wakhid Hasyim, Kelurahan Kauman, Kecamatan Kota Tulungagung ini. Faktanya, setiap setahun sekali dihelat peringatan haul, santri yang berdatangan ke pondok Peta benar-benar luar biasa. Pondok yang kini diasuh putra Kiai Abdul Djalil Mustaqiem, Charir Mohamad Sholahudin Al Ayyubi (Gus Saladien) itu sama sekali tak kehilangan daya magnetik-nya. Dalam haul yang digelar, Minggu (13/1/2007) kemarin, misalnya, puluhan ribu santri jamaah Pondok Peta dari berbagai pelosok Indonesia tumplek blek membanjiri Kota Tulungagung.

Ketokohan dan keteladanan KH Mustaqiem yang masih keturunan dari Mbah Penjalu itu agaknya tetap meninggalkan ‘goresan' tersendiri di kalangan santri tareqot yang menjadi pengikutnya. ‘'Setiap haul, keluarga kami pasti ke Pondok Kiai Mustaqim dan Abdul Djalil ini,'' tutur beberapa santri Peta dari Blora, Jawa Tengah. Tak tanggung-tanggung. Para santri dari luar propinsi itu datang ke Tulungagung sampai harus mencarter beberapa buah bus bersama jamaah Pondok Peta lainnya. Demikian pula santri dari luar Pulau Jawa, saat haul, mereka juga banyak yang datang ke Pondok Peta dengan berombongan.

‘'Kami datang dari Lampung. Setiap haul, kami mesti datang ke Pondok,'' kata serombongan santri dari luar Pulau Jawa itu menuturkan. Di kalangan santrinya, KH. Mustaqim maupun Kiai Djalil diakui sebagai sosok yang banyak memberikan keteladanan dalam mengajarkan ilmunya. Karena itulah, santri-santrinya juga tersebar luas ke seantero negeri.

Di sisi lain, kiai yang menjadi tokoh tareqot assadziliyah itu dalam perjalanan hidupnya memang memiliki banyak kelebihan sebagaimana sering diungkap dalam manakib-nya yang dibacakan setiap peringatan haul. ‘'Sejak kecil, KH Mustaqiem sudah punya sirri. Beliau juga punya khizib kahfi,'' kata KH Mudhofir Sukhaimi yang biasa membacakan manakib KH Mustaqiem bin Hussain dalam setiap peringatan haul.

Diceritakan pula, suatu ketika, kiai Mustaqiem menerima nasib tak menyenangkan saat penjajahan Jepang. Bersama warga masyarakat yang lain, kiai kelahiran Keras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tahun 1901 itu, harus menghadapi penyiksaan sadis yang dilakukan penjajah Jepang. ‘'Saat itu, Mbah Mustaqiem disiksa dengan cara ditutup semua lubang yang ada di tubuhnya kecuali dua lubang hidungnya. Lalu, lubang hidung itu dimasuki selang dan dipompa. Setelah perutnya membesar, Jepang menginjak-injak dengan sepatu perangnya. Banyak rakyat kita yang akhirnya mati disiksa seperti ini,'' katanya.

Namun, tidak demikian yang terjadi pada diri Kiai Mustaqiem. Entah bagaimana ceritanya, Jepang memasukkan selang tidak ke lubang hidung Kiai Mustaqiem. Tapi, selang itu justru dimasukkan ke lubang ‘sabuk othok' (ikat pinggang khas orang Jawa). Maka, selamatlah kiai Mustaqiem dari penyiksaan sadis yang dilakukan penjajah Jepang. ‘'Begitulah Kiai Mustaqiem mempunyai kelebihan,'' kata KH Mudhofir.

Keistimewaan lainnya, Kiai Mustaqiem juga punya ilmu bela diri yang hebat. Kemampuan bela diri ini diketahui ketika Kiai ini ditantang silat seorang pendekar ulung. KH. Mustaqiem, ternyata, mampu meladeni tantangan itu dengan bersilat di atas empat tombak. ‘'Beliau juga menguasai sedikitnya 40 bahasa asing,'' terang KH Mudhofir.

Tak pelak, santri-santrinya saat itu sampai dibuat heran karena tak pernah tahu kapan kiai yang wafat pada 1970 itu belajar bahasa asing. ‘'Saat kedatangan tamu dari India, Mbah Mustaqiem juga bisa meladeni pembicaraan menggunakan bahasa India,'' ujarnya. Yang patut diteladani lagi, dalam setiap acara haul diungkapkan, meski tergolong Kiai berilmu tinggi, KH. Mustaqiem punya sikap tak suka menyombongkan diri. Faktanya, suatu hari, ada Kiai besar (Syekh Abdul Rozaq) yang akan berguru kepadanya. Namun, KH Mustaqiem justru bersikap sebaliknya. Beliau malah akan berguru kepada Syekh Abdul Rozaq. ‘'Akhirnya, kedua Kiai besar itu rebutan untuk menjadi murid,'' ungkapnya.

Sepeninggal Kiai Mustaqiem, perjuangan Pondok Peta diwariskan kepada salah seorang putranya, KH Abdul Djalil Mustaqiem. Sayang, Kiai Abdul Djalil yang tak kalah kharismatik dengan sang ayah itu, Jumat (7/1/2005) lalu sudah keburu dipanggil Allah SWT. Sebagai penerus perjuangannya, kini Pondok Peta diasuh Gus Salladien, salah seorang putra Kiai Abdul Djalil Mustaqiem yang usianya baru sekitar 29 tahun.

Sebagai kiai kharismatik, kediaman Kiai Djalil hampir tak pernah sepi dari kunjungan tokoh-tokoh politik lokal maupun nasional. Menjelang Pemilu legislatif dan Pemilu presiden 2004 lalu, misalnya, kediaman Kiai Djalil banyak menjadi singgahan tokoh-tokoh politik nasional.

Saat itu, beberapa tokoh nasional yang berkunjung ke kediaman Kiai Djalil, di antaranya, Nurcholis Madjid (Cak Nur), mantan Wapres, Try Soetrisno, Amien Rais, Yusuf Kalla dan tentu saja KH Abdurrohman Wahid (Gus Dur) yang sudah tak terbilang jumlahnya mendatangi pondok Kiai Djalil.

Keterangan foto : Kiai Abdul Djalil saat menerima kunjungan mantan Wapres Try Soetrisno bersama istrinya, sebelum Pemilu 2004 lalu. Saat itu, Try Soetrisno juga merayakan ulang tahunnya di kediaman Kiai Djalil.

From : www.kabarindonesia.com
Oleh : Muhibuddin

Selengkapnya.....

17 November 2008

Doa Sulthonul Auliya' Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili 5

Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Semoga Allah memberi pertolongan kepada kami dan kamu pada apa yang Dia sukai dan Dia Ridhoi. Semoga Dia memilihkan untuk kami dan kamu apa yang Dia takdirkan dan Dia qodha’kan. Dan menjadikan kami dan kamu tergolong orang-orang yang menang di hari bertemu dengan-Nya.

Wahai Allah.....
Wafatkanlah kami sebagai orang muslim dan ikutkanlah kami bersama Muhammad dan golongannya atas Ridha dari-Mu dan mereka dengan iringan selamat dari rasa malu dan segan serta hina oleh sebab amal perbuatan yang campur aduk kami yang telah berlalu.

Wahai Allah.....
Maafkanlah kami dalam kebodohan kami, dan janganlah Engkau menuntut kami karena kelalaian kami terhadap-Mu, dan sebab kejelekan adab kami bersama-Mu dan bersama para malaikat pencatat yang mulia.

Wahai Allah....
Ampunilah dosa-dosa dan kelalaian kami, kebodohan kami terhadap nikmat-nikmat-Mu. Ampunilah kami yang sedikitnya rasa malu kami terhadap-Mu, dan sudilah kiranya Engkau menghadap kepada kami dengan Wajah-Mu, dan janganlah Engkau membiarkan kami difitnah oleh sesuatu dari makhluk-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Wahai Allah....
Ampunilah kami tentang apa yang sudah diketahui oleh manusia dari makhluk-makhluk-Mu dan ampunilah kami atas apa saja yang telah Engkau ketahui dan sudah ditulis oleh para malaikat-Mu, dan ampunilah kami atas apa yang telah kami ketahui dari diri kami sedangkan tidak seorangpun dari para makhluk-Mu yang mengetahui, dan ampunilah kami atas apa yang telah Engkau tentukan kepada kami dalam semua hukum-hukum-Mu, dan karuniakanlah kami kekayaan yang dengannya kami tidak lagi membutuhkan apa-apa dari semua makhluk-Mu dan disertai pula dengan terbukanya penutup antara kami dan antara-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Wahai Allah.....
Ampunilah kami dengan ampunan yang Engkau berikan kepada para kekasih-Mu yang tidak membiarkan sedikitpun keraguan dan tidak menyisakan bersamanya sesuatu celaan dan cercaan. Jadikanlah apa yang telah Engkau ketahui dalam diri kami dan dari diri kami sesuatu yang paling baik diketahui setelah dihapus dan ditetapkannya amal-amal. Sesungguhnya Ummul Kitab (Lauh Mahfudzh) ada di sisi-Mu.

Wahai Allah....
Ampunilah semua dosa-dosa kami baik yang kecial maupun yang besar, yang rahasia maupun yang nampak, yang pertama maupun yang terakhir. Dan ampunilah orang-orang yang kami cintai yang melakukan perjalanan jauh dari kami, perjalanan dunia maupun akhirat, jadikanlah gerak langkah mereka sebagaimana gerak langkah orang-orang yang taqwa dan kepulangan mereka sebagaimana kembalinya orang-orang yang memperoleh keuntungan. Dan Jadikanlah kita semua dengan Rahmat-Mu orang-orang yang diterima (permohonannya), sekalipun kami adalah orang-orang yang berjalan sombong, karena para penyanggah itu sesungguhnya bermurah hati meskipun mereka mengetahui, dan Engkau lebih utama terhadap yang demikian karena Engkau Maha Mulia dari siapapun pengasih. Segala Puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Wahai Allah....
Janganlah Engkau pulangkan kami dengan hampa sedang kami penuh berharap kepada-Mu. Janganlah Engkau tolak kami sedang kami berdo’a kepada-Mu. Kami benar-benar memohon kepada-Mu sebagaimana telah Engkau perintahkan kepada kami, maka kabulkanlah permohonan kami sebagaimana telah Engkau janjikan kepada kami, dan janganlah Engkau jadikan kerendahan diri kami sesuatu yang tidak berarti bagi-Mu dan tidak diterima. Dan sebagaimana Engkau telah memudahkan kami untuk berdoa, maka mudahkan pula terkabulnya. Seungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Selengkapnya.....

07 November 2008

Di Sebuah Toko Buku ..........

Sabtu selepas dhuhur supi’i berniat untuk pergi ke toko buku, ia mendengar bahwa toko buku tersebut menggelar discount hingga 50 %. Letak toko buku itu tidak terlalu jauh dri rumah Supi’i, kira-kira 4 kilometeran, kalau naik sepeda motor perjalanan tidak sampai 15 menit. Toko buku itu tidak begitu besar layaknya sebuah toko buku seperti Gramedia, Uranus, Toga Mas maupun Manyar Jaya yang mempunyai bangunan unik khas toko buku. Dari luar malah nampak seperti rumah biasa, cuman ada tulisan nama toko buku itu yang menunjukkan bahwa bangunan itu adalah sebuah toko buku. Letak toko buku itupun tidak se strategis toko buku lainnya yang terletak di jalan protokol atau pusat perniagaan, tetapi toko buku tersebut terletak di perkampungan. Keuntungan toko buku itu adalah jalan di depan toko buku tersebut merupakan jalan menuju beberapa kampus di surabaya, selain toko buku tersebut dekat dengan kampus ekonomi swasta terkenal juga toko buku tersebut dekat dengan perpustakaan daerah jawa timur, satu lagi kekhasan toko buku tersebut adalah hanya menjual buku-buku agama islam.

Supi’i pergi ke toko buku tersebut memang untuk mencari buku “Lebih dekat kepada Allah” sebuah buku terjemahan dari Syarah al-Hikam karya Syaikh Ajibah al Hasani. Supi’i sudah mencari ke semua toko buku itu di surabaya tetapi dia belum menemukannya, semua stock habis. Tinggal toko buku itulah harapannya.

Pukul 14.00 lebih sedikit supi’i sampai di tempat toko buku tersebut. Sudah nampak 4 sepeda motor yang parkir di tempat parkir toko buku itu, tinggal 2 tempat parkir yang kosong untuk sepeda motor. Satu di ditempati oleh sepeda motor supi’i, sekarang praktis tinggal satu lagi yang kosong.

Sampai di dalam terlihat dua orang kasir dan beberapa pengunjung yang rata-rata perempuan dengan jilbab lebar dan besar serta laki-lakinya dengan penampilan berjanggut dan celana yang cingkrang. Hanya terlihat supi’i yang memakai Celana jeans Lee Cooper dan kaos oblong Joger. Supi’i tahu beberapa orang melirik dan mengamati supi’i, mungkin bagi mereka supi’i adalah orang asing, karena penampilan supi’i yang lain dari kebanyakan mereka yang masuk di toko buku tersebut. Supi’i cuek aja terhadap orang-orang yang mengamatinya. Bagi dia yang penting dia berniat untuk membeli buku dan tidak mencuri serta tidak mengganggu yang lainnya.

Sudah hampir satu jam supi’i mencari buku yang selama satu bulan ini dicari tapi belum ketemu juga. “Besar juga toko buku” guman supi’i, ada 4 ruangan yang masing-masing ruangan mempunyai identifikasi sendiri. Ruangan utama yaitu ruangan yang paling besar, disitu terdapat kasir dan buku-buku islam umum, ruangan tafsir alqur’an, ruangan buku-buku remaja dan novel serta ruangan yang difungsikan sebagai gudang untuk menyimpan stock buku. Tapi untuk buku-buku tasawuf jarang sekali bahkan bukunya bisa dihitung dengan jari. Hingga akhirnya seorang bapak tua pekerja disitu bertanya kepada supi’i “cari buku apa mas”. Supi’i yang disapa kemudian dengan tersenyum menjawab “buku Lebih dekat kepada Allah pak”. “Penerbitnya mana mas ?”. “oh pustaka Hidayah pak”. Sekejap kemudian bapak tua itu mencarikan buku itu untuk mengecek ke data base di komputernya. Tidak lama kemudian bapak tua tersebut mencari supi’i dan berkata : “wah gak ada mas, kalau buku ini gimana”. Sambil bapak tua itu menunjukkan buku tebal 2 jilid. “buku ini lengkap, mas bisa untuk bacaan selama setahun“. Supi’i cuma melirik judul buku tersebut yang masih ditangan bapak tua itu, terlihat nama-nama pengarang : Al-albany, Utsaimin, Bin Baz, ibn taimiyah dll. Supi’i cuma bisa mengira-kira bahwa buku tersebut merupakan kumpulan fatwa-fatwa dari mereka. Hingga akhirnya supi’i berkata “terima kasih pak, saya hari ini cari buku-buku tasawuf”.

Tampak jelas perubahan dari raut muka bapak itu yang menjadi tidak senang terhadap supi’i kemudian sambil berkata “Naqsyabandi itu sesat masak mereka masuk puasa dan lebaran lebih dulu, mereka itu sesat dan kafir”. Supi’i cuma bisa tersenyum meskipun dia sendiri merasa dongkol orang itu berkata demikian. Ia teringat akan berita di televisi dan media massa bahwa naqsyabandi Padang sumatera barat melakukan puasa dan lebaran lebih dahulu bila dibandingkan dengan pemerintah. Meskipun ia sendiri merupakan orang syadziliyah, tapi supi’i tahu kalau naqsyabandi itu adalah thoriqot yang mu’tabaroh yang aurad sanadnya nyambung hingga rasulullah saw. Supi’i sadar bahwa bapak tua didepannya ini adalah pengikut jamaah yang anti terhadap tasawuf dan begitu mudahnya memvonis jamaah lain di luar jamaahnya sesat, kafir, bid’ah. Supi’i jadi geli sendiri masak dengan perbedaan fiqih aja bapak tua itu sampai menyesatkan dan mengkafirkan orang lain. Didalam hati terus menerus supi’i beristghfar memohon ampunan untuk dirinya dan bapak tua itu, agar bapak tua itu diberi hidayah atau paling enggak untuk keturunannya sehingga tidak lagi anti tasawuf.

Supi’i segera pergi untuk mencari buku yang lain, ketimbang berdebat dengan bapak tua itu, karena pasti hatinya telah keras dan tidak ada hasilnya. Supi’i jadi teringat buku yang telah dibacanya yaitu terjemahan Lathaiful Minan karya Syaikh Ibn Atha’illah As sakandary, bahwa kakek Ibn Atha’illah As sakandary adalah seorang yang anti dan memusuhi tasawuf.

Dalam buku itu diceritakan bahwa seorang murid syaikh (abu al-abbas al-Mursy) bercerita kepadaku (Ibn Atha’illah)“ Syaikh Abu al-Abbas pernah berkata “ Apabila Ibn Atha’Illah fakih dari Iskandaria datang, kabari aku“. Maka ketika engkau datang kami segera memberitahu syaikh. Ia kemudian berkata “Mendekatlah !” kamipun maju mendekatinya, kemudian syaikh berujar : “Ketika kaum Quraisy mendustakan Rasulullah saw, Jibril mendatanginya beserta malaikat penguasa al Akhsyaiban (dua gunung di mekkah), Jibrial as kemudian berkata “ini adalah dua malaikat penguasa dua gunung ini. Allah memerintahkannya untuk menaati perintahmu dalam urusan kaum Quraisy”. Kemudian malaikat itu mengucapkan salam seraya berkata “Wahai Muhammad jika kau mau, akan aku timpakan kedua gunung ini kepada mereka dan pasti kulakukan”. Namun Rasulullah saw menjawab “JANGAN !!!” aku berharap semoga keturunan mereka yang mengimani keesaaan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Rasulullah saw bersabar menghadapi mereka karena berharap bahwa ada anak keturunan mereka yang mengikutinya. Demikian pula kita bersabar menghadapi kakek sang faqih ini (Ibn Atha’illah) demi dirinya.

Supi’i sadar bahwa orang beriman dan berislam itu ibarat menjadi buah, terkadang harus menjadi durian dimana manis isinya tetapi berduri kulitnya, terkadang seperti manggis dimana isinya tidak bisa dimakan, tetapi dagingnya sangat manis. Ada buah yang indah kulitnya, tetapi pahit isinya, dan hanya sedikit buah yang kulit dan isinya sama-sama indah, sama-sama manis. Ada orang yang puas dengan memamah kulit dan merasa cukup dengannya. Ada pula yang membuang kulit demi bisa menikmati isinya. Manusia sempurna adalah dia yang pakaian luarnya seindah jiwanya. Dialah para nabi, para rasul dan para wali dan kekasih Allah, merekalah teladan sejati.

Tepat adzan ashar berkumandang supi’i berniat kembali, dia menuju ke kasir untuk membayar buku yang didapat dari toko buku tersebut. Ada dua buku yang didapatnya yaitu pertama bukunya Syaikh Abdul Qodir al-Jilany yaitu Futuhul Ghaib yang dalam terjemahannya berjudul Menyingkap Rahasia Rahasia Ilahi dan bukunya Syaikh Ibn Atha’illah As sakandari yang berjudul Al-Qashad al Mujarrad fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrad yang di terjemahkan menjadi “Rahasia Asma Allah”.

Supi’i bersyukur sekali karena mendapat pengalaman dan pelajaran berharga yaitu pelajaran sabar, sabar dalam menghadapi bapak tua itu dan mendoakannya sesuai yang dilakukan oleh kanjeng nabi Muhammad saw terhadap suku Quraisy dan Syaikh Abbul Abbas Al Mursi terhadap kakeknya sang fakih Syaikh Atha’illah As Sakandary yang anti tasawuf, dan tentunya juga sabar dalam mencari buku, juga supi’i sangat bersyukur sekali tidak jadi emosi menghadapi bapak itu dan tentunya supi’i juga bersyukur karena mendapatkan potongan harga 30 % untuk dua buku yang dibelinya.


Selengkapnya.....

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template