Peristiwa paling monumental dalam sejarah dunia adalah turunnya Alquran kali pertama di Gua Hira'. Pertemuan Rasulullah Sayyidina Muhammad SAW dengan Malaikat Jibril saat itu, bertepatan dengan Lailatul Qadr, merupakan representasi dari awal sekaligus akhir perjalanan waktu dunia yang terbatas, menuju Waktu Ilahi yang tiada hingga, azali dan abadi.
Betapa tidak. Ketika Jibril AS memeluk beliau sambil mendiktekan bacaan, "Iqra'!," lalu dijawabnya, "Maa anaa bi qaari'" (Aku tak bisa membaca). Sebuah jawaban teologis, filosofis, dan sekaligus sufistik. Disebut teologis karena ketika itu Rasulullah berada di hadapan wajah Allah, sehingga yang ada hanyalah Tauhidullah, bahkan dirinya sendiri sekali pun sirna dalam Tauhid sampai harus berkata, "Aku tak bisa membaca..."
Begitu juga sangat filosofis, karena dunia filsafat tak habis-habisnya mengurai peristiwa itu, sebagai landasan utama peradaban tauhid di muka bumi, dan setiap dimaknai filosofis, muncul pula cahaya baru di balik makna yang tersembunyi.
Bahkan, juga sangat sufistik, karena "Al-qaari al-haqiqi huwa Allah ta'ala", Sang pembaca yang hakiki adalah Allah ta'ala. Karena Dialah Yang Berkalam dan Yang Maha Tahu makna kalam yang sesungguhnya.
Sampai ketiga kali, di saat Jibril AS meneruskan, Iqra' bismi robbikalladzi khalaq.... dst Nabi Muhammad SAW baru bisa menirukan. Di sinilah rahasia asma Allah tersembunyi -dan dalam urgensi ma'rifatullah (mengenal Allah) terurai , bagaimana Rasulullah SAW mampu membaca ketika kelanjutan ayat kalimat pada ayat itu tebersit kalimat. Bismi Rabbik (Dengan asma Tuhanmu). Seandainya boleh ditafsirkan, "Bacalah Alquran ini dengan nama Tuhanmu. Siapa nama Tuhanmu? "Allah!", dengan kata lain, bacalah Alquran ini dengan Allah... Allah... Allah...".
Memang demikian, akhirnya tak satu pun dari seluruh tinta yang menghabiskan tujuh lautan ruhani maupun tujuh lautan fisika, mampu menuliskan, melukiskan, bahkan menggambarkan dahsyatnya ilmu Allah dalam kalamullah itu. Yang ada hanyalah gemuruh jiwa yang menggetarkan seluruh jagat semesta ruhani dan jasmani, dalam kristal jantung Rasulullah SAW, sampai beliau menggigil dalam fana'ul fana'. Karena Wayabqqo wajhu rabbika dzul-jalaali wal-ikraam, (Yang ada hanyalah wajah Tuhanmu Yang Maha Agung nan Mulia) ketika itu.
"Zammiluuni... Zammiluuni...." Selimuti aku.... selimuti aku.... Seakan Rasulullah SAW, berkata, "Selimuti aku.... selimuti... karena Cahaya dari Maha Cahaya-Mu yang memancar di seluruh jagat cerminku. Selimuti aku, selimuti...., betapa senyap, sunyi, beku, dingin, tiada tara dalam Genggaman-Mu.... Selimuti... Oh, selimuti.... dan akulah sesungguhnya selimut-Mu.... Akulah Nama-Mu, akulah Ismu Rabbik itu... Oh....."
Saat itu, dan mulai kala itu pula, tiada hari tanpa munajat, tiada kondisi dan waktu, melainkan adalah waktu-waktu penuh liqa' Allah (pertemuan dengan Allah). Maka ismu Rabbik (nama Tuhanmu) itu melimpah begitu dahsyatnya tanpa bisa terucap, tertulis, dan terbayang, menjadi al-asma'ul husna, di antaranya asmaul husna dalam surat Al-Hasyr yang ada dalam Alquran.
Peristiwa Hira' itu juga awal mula sebuah ajaran tentang zikrulah dimulai. Gemuruh zikrullah telah menyelimuti seluruh nadi, ruh, dan sirr (rahasia batin) Rasulullah SAW, dalam hamparan jiwanya. Karena hanya jiwa-jiwa yang beriman yang bisa menjadi istana ilahiyah.Bahkan, dari 99 al-asmaul husna yang pernah dihaditskan oleh Rasulullah SAW, dibaca oleh Asy-Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu 'Araby, kemudian tertulis dalam kitabnya, An-Nuurul Asna Bi-MunajaatiLlaahi Bi-Asmaail Husnaa. 99 Munajat yang begitu indah, sekaligus menggambarkan huquq ar-rubuiyyah (Hak-hak Ketuhahan) dan huqul 'ibad wal 'ubudiyah (hak-hak kehambaan dan ubudiyah).
Misalnya, ketika membaca asma-Nya, "Allah", Ibnu 'Araby bermunajat: Ya Allah, tunjukkan padaku, bersama-Mu, kepada-Mu. Limpahilah rizki keteguhan (keketapan) di sisi Wujud-Mu, sepanjang diriku dengannya, untuk beradab di hadapan-Mu....
Yaa... Rahmaan, kasihanilah daku dengan pemenuhan paripurna nikmat-nikmat-Mu, tersampainya cita-cita ketika menahan cobaan-cobaan dahsyat dan ujian-Mu.
Yaa... Rahiim, sayangilah daku dengan memasukkan ke syurga-Mu dan bersuka ria dengan taqarrub dan memandang-Mu...
Yaa Maalik, Wahai.... Diraja dunia dan akhirat, dengan kekuasaan mutlak paripurna, jadikan diriku sampai di jannatun na'im dan Kerajaan Agung dengan beramal penuh total.
Yaa.. Quddus, sucikan diriku dari aib-aib dan bencana, sucikan diriku dari dosa-dosa dan kejahatan diri.
Yaa... Salaam, selamatkan daku dari seluruh sifat yang tercela, dan jadikan diriku golongan orang yang datang kepada-Mu dengan qalbun saliim.
Ya... Mu'min, amankanlah daku di hari yang paling mengejutkan, limpahilan rizki padaku dengan bertambahnya iman kepada-Mu, sebagai bagianku.
Yaa... Muhaimin, jadikanlah diriku sebagai penyaksi dan pemandang atas pemeliharaan-Mu, dan jadikanlah daku sebagai pemelihara dan pemegang amanah-amanah-Mu dan janji-janji-Mu.
Yaa...Aziz, jadikanlah daku dengan Perkasa-Mu termasuk orang-orang yang merasa hina di hadapan-Mu dan berikanlah padaku amaliah dengan amal-amal akhirat di sisi-Mu.
Yaa... Jabbaar..., paksalah diriku untuk berselaras dengan kehendak-Mu, dan janganlah Engkau jadikan aku sebagai pemaksa pada hamba-hamba-Mu.
Yaa.. Mutakabbir, jadikanlah daku termasuk orang-orang yang tawadlu' atas kebesaran-kebesaran-Mu, tergolong orang-orang yang tunduk atas hukum dan keputusan-Mu.
Yaa... Khaaliq, ciptakan pertolongan dalam hatiku untuk taat kepadaM-u, dan lindungi daku dari kezaliman dan pengikutnya di antara makhluk-makhluk-Mu.
Yaa... Baari', jadikanlah diriku golongan yang terbaik dari manusia, dan riaslah daku dengan akhlak baik yang diridai.
Yaa... Mushawwir, rupakanlah diriku dengan bentuk ubudiyah pada-Mu, dan cahayailah daku dengan cahaya-cahaya makrifat-Mu. Dan seterusnya sampai sembilan puluh sembilan nama Allah.
Itulah implementasi lain dari "Berakhlaqlah dengan akhlaq-akhlaq Allah". Maka al-asmaul husna adalah hampiran pertama, ketika seorang hamba ingin merespons akhlaqullah, melalui munajat-munajat sebagaimana digambarkan Ibnu 'Araby. Membaca, sekaligus aksentuasi dalam kehidupan nyata bahwa pada diri manusia harus "bersiap diri" untuk menjadi limpahan asma-Nya, agar mengenal-Nya. ***
KH. M. Luqman Hakiem, MA
Jawa Pos, Minggu 21 September 2008
0 komentar:
Posting Komentar