Sore itu sehabis adzan ashar tidak seperti biasanya supi’i pulang dari kerjanya, ia buru-buru untuk menghidupkan kendaraannya dan setelah itu dipacu dengan kecepatan sedang. Sebenarnya supi’i tidak tahu pasti kemana tujuannya untuk meninggalkan kantor tempat ia bekerja sebelum jam pulang kerjanya. Ia cuma menjalankan kendaraannya saja keliling-keliling kota, jalan, jalan dan jalan. Ia sendiri tidak tahu, kreteg dihatinya ia pingin pergi gitu aja. Ya sudah jadilah begini puter-puter nggak tahu artinya dan meng-ukur panjang jalan yang dilaluinya.
Tanpa sadar ia lihat arlojinya jam sudah menunjukkan pukul empat sore lebih, segera ia istighfar berkali-kali karena ia belum sholat ashar. Ia biasanya melakukan sholat ashar di kantornya. Kali ini supi’i sedikit sadar, segera ia berjalan lagi dan memacu kendaraannya dengan kecepatan yang sedikit lebih kencang dibandingkan tadi. Kali ini tujuannya jelas, ia harus mencari masjid untuk melakukan sholat ashar.
Hingga akhirnya ia sampai di pinggiran kota dan menemukan sebuah masjid tua. Masjid yang sederhana, tidak ada menara tetapi cuman kubah kecil yang diatasnya ada lafadz Allah. Sekilas memang nampak seperti rumah biasanya. Lafadz diatas kubah itulah yang menunjukkan bahwa itu sebuah masjid. Segera supi’i memarkir kendaraannya. Sekali lagi ia pandangi masjid itu dari tempat ia memarkir kendaraannya. Ia pejamkan matanya, aneh begitu damai supi’i rasakan. Ia merasakan begitu masjid itu sangat bercahaya.
“Bismillahir rohmannir rohiim”, mantap supi’i menuju masjid. Ia tata sandal terbalik seperti yang diajarkan di PETA (maklum Supi’i selalu teringat kata-kata yang ditulis ditembok depan Musholla PETA “Yen kepingin noto ati, totonen ...... sandal, baqiyak, sepatumu disik ; iki contone”). Ketika berdiri setelah menata sandal itu supi’i semakin terkejut dengan datangnya seseorang tua berpakaian putih dan bersarung hijau dari dalam masjid menuju serambi untuk menyambut dirinya. “Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh, Alhamdulillah nak supi’i sudah sampai. “wa wa wa alaikumus salam”, jawab supi’i kaget. Dalam hatinya ia bertanya-tanya siapakah beliau hingga tahu namanya segala. Sungguh supi’i sama sekali belum mengenal orang itu. Apalagi beliau seperti memang menunggu kedatangannya. “Ayo nak supi’i itu tempat wudlunya cepat wudlu entar keburu asharnya habis. Bapak tunggu didalam masjid ya”. “baik pak”, jawab supi’i.
Segera supi’i pergi ke tempat wudlu, tempat wudlunya pun sangat sederhana. Tidak ada kran air yang ada cuman kolam besar 3 kali 2 meter yang dipakai bersama-sama untuk berwudlu. Segera supi’i berwudlu dia berniat wudlu untuk menghilangkan hadas kecil karena Allah. Meskipun supi’i masih punya wudlu (Supi’i selalu mendawamkan batal wudlu ajaran PETA) tetapi supi’i selalu memperbarui wudlu ketika akan melakukan sholat.
Setelah berdo’a sehabis wudlu segera supi’i menuju ke dalam masjid untuk menghadap bapak tua itu. Tampak jelas sekali masjid itu sangat sederhana sekali. Dindingnya bercat putih sedikit kusam, lantainya bukan dari keramik apalagi pualam atau marmer tetapi dari ubin yang berwarna kuning, bahkan ada bagian lain ubinnya sudah hilang dan cuman di tambal dengan semen aja. Sambil berjalan supi’i pandangi bapak tua itu. “Subhanallah” dalam hatinya supi’i merasakan bapak tua itu wajahnya sangat bercahaya. Mungkinkah cahaya masjid ini berasal dari wajah bapak tua itu ?
“Silahkan nak supi’i sholat dulu disamping bapak, kalau bapak sih sudah sholat ashar tadi. Setelah Sholat ashar itu, bapak tua itu kemudian berkata, “Nak sekarang mari kita berdo’a dan nak Supi’i tinggal mengamini saja”. “baik pak” jawab supi’i. Setelah berdoa itulah kemudian bapak tua memegang dada supi’i sambil berkata “kamu harus sabar..., kamu harus sabar...., kamu harus sabar ya...., setelah itu bapak tua tadi meletakkan jempol tangan kanannya ke langit-langit mulut supi’i yang sebelumnya ditempelkan dari langit-langit mulutnya. Supi’i cuma bisa menurut saja apa yang dilakukan oleh bapak tua tadi terhadap dirinya. Setelah itu bapak tua tadi berdoa lagi dan supi’i pun turut mengamininya hingga selesai. Setelah itu bapak tua itu berkata kepada supi’i : “ kamu harus sabar ya...., istiqomah ya..., sekarang nak supi’i segera pulang karena hari sebentar lagi menjelang malam. “baik bapak terima kasih atas semuanya” sambil kemudian supi’i mencium tangan bapak tua itu untuk berpamitan. Terasa halus sekali tangan bapak tua itu seperti halusnya kulit bayi, guman supi’i. “assalamu’alaikum” kata supi’i. “Wa alaikumus salam warohmatullohi wabarokatuh” jawab bapak tua itu.
Supi’i pun segera berdiri untuk pulang, sesampainya di serambi masjid diapun kembali lagi karena penasaran dan pingin bertanya kepada bapak tua itu siapakah sebenarnya Beliau. Tetapi ketika dilihat sekeliling ruangan masjid dia tidak menemukannya, bahkan tidak ada seorangpun didalam masjid itu kecuali dia. Kemana perginya bapak tua itu dia gak tahu, datang tiba-tiba dan hilangnyapun tiba-tiba. Supi’i cuma bisa menerka-nerka bapak tua itu. Mungkinkan seorang waliyullah, atau mungkinkan malaikat, atau mungkin juga nabi khidir yang selalu ditawasulinya setiap hari minimal tiga kali ketika membaca aurod syadziliyah ? Wallahu ‘alam bishowab.
Tanpa sadar ia lihat arlojinya jam sudah menunjukkan pukul empat sore lebih, segera ia istighfar berkali-kali karena ia belum sholat ashar. Ia biasanya melakukan sholat ashar di kantornya. Kali ini supi’i sedikit sadar, segera ia berjalan lagi dan memacu kendaraannya dengan kecepatan yang sedikit lebih kencang dibandingkan tadi. Kali ini tujuannya jelas, ia harus mencari masjid untuk melakukan sholat ashar.
Hingga akhirnya ia sampai di pinggiran kota dan menemukan sebuah masjid tua. Masjid yang sederhana, tidak ada menara tetapi cuman kubah kecil yang diatasnya ada lafadz Allah. Sekilas memang nampak seperti rumah biasanya. Lafadz diatas kubah itulah yang menunjukkan bahwa itu sebuah masjid. Segera supi’i memarkir kendaraannya. Sekali lagi ia pandangi masjid itu dari tempat ia memarkir kendaraannya. Ia pejamkan matanya, aneh begitu damai supi’i rasakan. Ia merasakan begitu masjid itu sangat bercahaya.
“Bismillahir rohmannir rohiim”, mantap supi’i menuju masjid. Ia tata sandal terbalik seperti yang diajarkan di PETA (maklum Supi’i selalu teringat kata-kata yang ditulis ditembok depan Musholla PETA “Yen kepingin noto ati, totonen ...... sandal, baqiyak, sepatumu disik ; iki contone”). Ketika berdiri setelah menata sandal itu supi’i semakin terkejut dengan datangnya seseorang tua berpakaian putih dan bersarung hijau dari dalam masjid menuju serambi untuk menyambut dirinya. “Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh, Alhamdulillah nak supi’i sudah sampai. “wa wa wa alaikumus salam”, jawab supi’i kaget. Dalam hatinya ia bertanya-tanya siapakah beliau hingga tahu namanya segala. Sungguh supi’i sama sekali belum mengenal orang itu. Apalagi beliau seperti memang menunggu kedatangannya. “Ayo nak supi’i itu tempat wudlunya cepat wudlu entar keburu asharnya habis. Bapak tunggu didalam masjid ya”. “baik pak”, jawab supi’i.
Segera supi’i pergi ke tempat wudlu, tempat wudlunya pun sangat sederhana. Tidak ada kran air yang ada cuman kolam besar 3 kali 2 meter yang dipakai bersama-sama untuk berwudlu. Segera supi’i berwudlu dia berniat wudlu untuk menghilangkan hadas kecil karena Allah. Meskipun supi’i masih punya wudlu (Supi’i selalu mendawamkan batal wudlu ajaran PETA) tetapi supi’i selalu memperbarui wudlu ketika akan melakukan sholat.
Setelah berdo’a sehabis wudlu segera supi’i menuju ke dalam masjid untuk menghadap bapak tua itu. Tampak jelas sekali masjid itu sangat sederhana sekali. Dindingnya bercat putih sedikit kusam, lantainya bukan dari keramik apalagi pualam atau marmer tetapi dari ubin yang berwarna kuning, bahkan ada bagian lain ubinnya sudah hilang dan cuman di tambal dengan semen aja. Sambil berjalan supi’i pandangi bapak tua itu. “Subhanallah” dalam hatinya supi’i merasakan bapak tua itu wajahnya sangat bercahaya. Mungkinkah cahaya masjid ini berasal dari wajah bapak tua itu ?
“Silahkan nak supi’i sholat dulu disamping bapak, kalau bapak sih sudah sholat ashar tadi. Setelah Sholat ashar itu, bapak tua itu kemudian berkata, “Nak sekarang mari kita berdo’a dan nak Supi’i tinggal mengamini saja”. “baik pak” jawab supi’i. Setelah berdoa itulah kemudian bapak tua memegang dada supi’i sambil berkata “kamu harus sabar..., kamu harus sabar...., kamu harus sabar ya...., setelah itu bapak tua tadi meletakkan jempol tangan kanannya ke langit-langit mulut supi’i yang sebelumnya ditempelkan dari langit-langit mulutnya. Supi’i cuma bisa menurut saja apa yang dilakukan oleh bapak tua tadi terhadap dirinya. Setelah itu bapak tua tadi berdoa lagi dan supi’i pun turut mengamininya hingga selesai. Setelah itu bapak tua itu berkata kepada supi’i : “ kamu harus sabar ya...., istiqomah ya..., sekarang nak supi’i segera pulang karena hari sebentar lagi menjelang malam. “baik bapak terima kasih atas semuanya” sambil kemudian supi’i mencium tangan bapak tua itu untuk berpamitan. Terasa halus sekali tangan bapak tua itu seperti halusnya kulit bayi, guman supi’i. “assalamu’alaikum” kata supi’i. “Wa alaikumus salam warohmatullohi wabarokatuh” jawab bapak tua itu.
Supi’i pun segera berdiri untuk pulang, sesampainya di serambi masjid diapun kembali lagi karena penasaran dan pingin bertanya kepada bapak tua itu siapakah sebenarnya Beliau. Tetapi ketika dilihat sekeliling ruangan masjid dia tidak menemukannya, bahkan tidak ada seorangpun didalam masjid itu kecuali dia. Kemana perginya bapak tua itu dia gak tahu, datang tiba-tiba dan hilangnyapun tiba-tiba. Supi’i cuma bisa menerka-nerka bapak tua itu. Mungkinkan seorang waliyullah, atau mungkinkan malaikat, atau mungkin juga nabi khidir yang selalu ditawasulinya setiap hari minimal tiga kali ketika membaca aurod syadziliyah ? Wallahu ‘alam bishowab.
0 komentar:
Posting Komentar