Akan kunukil keseluruhannya, lalu aku meninggalkan tanggung jawab dengan menimpakan pada orang-orang yang telah menyebutnya?
Orang-orang yang terpelajar dimasa kini kurang senang kalau disebutkan soal kekeramatan dengan begitu saja tanpa diperhitungkan, apalagi secara berlebihan dalam penuturan. Lain halnya dengan orang yang mengikuti para wali dimanapun juga ia berada, ia akan berupaya agar hal kekeramatan itu selalu disebut demi untuk menambah semaraknya sang wali dan menggusarkan bagi mereka yang kurang menyukai.
Mengenai mereka yang mengingkari kekeramatan, mereka mengingkari juga mukjizat-mukjizat walaupun dapat dicapai oleh panca indera sebagai mana yang tersebut dalam sunnah yang benar yang beritanya telah disaring oleh para ahli riwayat hadist berkenaan dengan Rasulullah SAW. Mereka berkenaan dengan mu’jizat sudah merasa cukup dengan adanya Alqur’an dan enggan mengakui selainnya walaupun yang dibawakan oleh pemuka-pemuka hadist sebagaimana imam bukhari dan imam muslim dan dari beberapa kitab hadist yang banyak ragamnya.
Jiwa orang sekarang kurang dapat menerima kekeramatan, mereka akan mengolok-olok secara terang-terangan kepada siapa yang membawa riwayat dengan imbuhan tentang kekeramatan seorang wali.
Akan kuikuti pulakah jejak mereka yang ingkar ? badai kemusykilan ini kuhadapai dengan tegas, akupun tidak maju mundur sejak memulai dari mukadimah dan kusebutkan dengan jelas akan halnya kekeramatan pada diri Syaikh Abul hasan sesuai dengan riwayat syaikh abul abbas ra. Tidak sedikitpun keraguan dalam hatiku mengenai kebenarannya. Aku pun menukil beberapa riwayat kekeramatan yang sesuai dengan isi kitabku.
Mengapa begitu lancar usaha penukilan dalam kitab ini ? mengapa ? Hal-hal berikut inilah yang menjadi jawaban atas pertanyaan diatas :
1. Bahwa alqur’an sendiri membicarkan dengan susun kata tanpa kesamaran tentang mukjizat dimana Allah bermurah memberikan mukjizat-mukjizat itu kepada Rasul dan para NabiNya. Dan didalam alqur’an pula dibicarakan masalah kekeramatan bahwa itu adalah Anugerah Allah SWT kepada para auliya’ dan ashfiya’Nya (para pilihanNya). Bukanlah alqur’an telah membicarkan dengan jelas hingga tidak memerlukan takwil, bahwasannya Isa as, membentuk burung dari tanah kemudian ia tiup maka menjadilah seekor burung yang hidup dengan izin Allah ? dan Al masih menyembuhkan orang buta dan sopak, juga menghidupkan orang yang mati dengan izin Allah. Didalam alqur’an didapati pula tentang Nabi Musa as, yang melemparkan tongkatnya tiba-tiba menelan apa yang mereka (ahli sihir fir’aun) pamerkan. Dan ia yang mengeluarkan tangannya lalu tampak putih bagi yang melihat, dan bunda Maryam yang hamil tanpa sentuhan lelaki, bukannya kesemuanya ini malanggar tabiat dan adat ? betapa pula keheranan zakaria yang melihat makanan yang tersedia dalam bilik maryam, hingga beliau menanyakan “Wahai Maryam ! dari mana kau dapatkan kesemuannya ini ?” Maryam menjawab dengan tenang “ Dari sisi Allah SWT.
2. Nama peraturan tabiat sebenarnya yang tepat adalah adat kebiasaan alam. Pelanggaran terhadap adat bukanlah barang mustahil bagi pertimbangan akal. Adat kebiasaan alam tidak dapat menguasai Tuhannya alam semesta.
3. Tangan-tangan yang dilalui oleh mukjizat atau kekeramatan tiadalah mereka mengaitkan dengan dirinya, tetapi menasabkan kepada yang Maha Pemurah yang Maha pemberi, yang memiliki kekuasaan yang mampu menaklukan dan memaksakan. Mereka itu menasabkan kepada Dia yang berkuasa sepenuhnya atas segala sesuatu.
4. Kalau kita mengarahkan selidik kita pada mereka yang ingkar terhadap kekeramatan, mereka itu tiada bedanya dengan warna kekejaman dan kekerasan hati, kalau anda tengok agak kedalam, anda akan mendapati mereka bukanlah orang yang memiliki perasaan yang halus, tidak pula padanya bashirah apalagi kemalaikatan ruh, mereka itu kalau bukan dari golongan mulhid (atheis) adalah dari jenis yang imannya belum meresap kedalam lubuk ghatinya dan masih merupakan sesuatu yang terapung dan belum mendasar.
5. Jumhur para muslimin sepanjang masa baik para awam atau para khusus ataupun yang sudah tinggi ilmu agamanya tidak satupun yang mengingkari, dan kesemuanya mengimani kekeramatan.
Sebab sebab yang sudah saya sebutkan diatas membantu saya untuk menelusuri dan menukil dari kekeramatan Asy Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili. Ada pula sebab lain yang bersifat khusus, tanpa mendabik dada aku katakan bahwa aku dapat menghadapi kemusykilan itu dengan mudah. Terus terang tanpa sedikitpun rasa sombong bahwa diriku ini bukanlah pribadi yang dipermainkan oleh waham dan khayal dan tidaklah pada hari-hari yang kutinggalkan menjadi mangsa kebatilan dan khurafat. Kepunyaan Allah-lah segala kurnia dan pemberiaan. Telah menjauh antaraku dengan pengaruh yang membekas (iehaa’-mempesonakan) yang membawa kepada waham dan khayal.
Kalau aku menambahkan berbagai sebab khusus, kesemuanya itu adalah agar keyakinan itu penuh dengan kepercayaan. Semoga Allah memberi hidayah kepada siap yang dalam hatinya kesediaan untuk menerima kebaikan dan pada ruhnya terdapat sendi-sendi untuk menampung kebenaran.
Disaat mengakhiri kitab ini tiba pula cobaan yang tak putus-putusnya, cara yang kutempuh tak lain adalah melindungkan diri kepada Allah disertai mohon kelapangan, tiba-tiba pada suatu hari telah datang kepadaku seorang yang saleh, yang mana beliau itu amat memaklumi hal-hal dari permulaan kitab ini. Beliau memberikan kepadaku gulungan kertas yang berisi “Shighah” (cara-cara bershalawat kepada Rasulullah saw). Pak saleh ini berkata bacalah dengan tekun dan selamilah kedalaman arti yang terkandung, bacalah seorang diri dimalam hari, semoga dengan demikian sirnalah apa yang selama ini membebani dirimu dan terbukalah apa yang selama ini mengaburkan.
Akupun beriktikaf mengasingkan diri dalam bilik sehabis sholat isya’, aku nyalakan lampu kamarku setelah itu kertas dari pak shaleh itu mulai kusentuh dan kubuka, berulang-ulang ku baca shighah shalawat yang tertera di atas kertas itu, ku selami dengan tekun kedalaman arti yang terkandung. Tiba-tiba dengan cara mendadak huruf-huruf tulisan dalam shighah itu menyala-nyala berkilau dengan cemerlang sekalipun lampu didalam kamarku terang menyala, tetapi huruf-huruf dengan cahayanya mampu mengalahkan terangnya lampu. Mungkin saja mataku silap maka kugosok mataku berulang kali, tetapi huruf itu tetap meyala dengan penuh gemerlapan yang amat mempesonakan.
Sadarlah aku sekarang betapa Allah membuka pintu RahmatNya, aku bersyukur, puja-puji kuhadapkan kepadaNya. Nur yang keperoleh ini merupakan rumus yang mampu menyirnakan beban derita dan menghilangkan duka cita, itulah “kekeramatan shighah yang diberkahi.
Satu pelanggaran adat yang terjadi di hadapan mataku adalah apa yang pada suatu pagi, dimana aku sedang duduk diruang perpustakaan dalam rumahku. Sudah teradat pada diriku, sebelum aku memulai membaca, kurenungkan pikiranku dengan menundukkan kepala sambil memejamkan mata dan setelah itu kepala baru ku angkat dan kubuka mataku, di pagi hari itu demikian pula yang kulakukan, tetapi setelah kuangkat kepalaku dan kubuka mataku, nampak dihadapanku sesosok tubuh seorang lelaki kekar, kulitnya berwarna sawo matang, kepalanya dibalut dengan kain putih yang oleh penduduk hijaz diberi nama al-fitrah. Besar tubuhnya lebih patut dikatakan kurus dan berdirinya agak membungkuk.
Sekujur badannya kulihat dengan nyata sampai-sampai corak pakainnya kulihat penuh ketelitian, suatu keanehan pula bahwa perasaanku tidak gentar sedikitpun menghadapi orang itu. Tidak sepatah katapun keluar dari lesannya dan akupun demikian juga, kami hanya saling pandang memandang, lama kelamaan mulai tampak kabur sedikit demi sedikit, pandanganpun mulai menipis hingga akhirnya lenyap sama sekali.
Demikianlah kesaksian penuh pesona tanpa gerak sedikitpun yang kualami di pagi hari yang cerah itu.”pelanggaran adat” yang bagaimana pula yang akan kualami setelah kesemuanya ini ?
Orang yang mengingkari pelanggaran adat dan mengingkari kekeramatan para wali Allah, mereka itu mengingkari jerih payah manusia sebagai penyelidik semenjak wujudnya manusia. Mereka mengingkari penetapan alqur’anul karim, mengingkari jumhur umat, dan setelah pengalaman pribadiku yang hanya beberapa detik itu, makin kokohlah pendirianku bahwa kekeramatan Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili dan hal ini sudah kumulai sejak mukadimah secara langsung dan penetapanku pula yang sudah disaksikan oleh Quthub besar Abus Abbas Al Mursi, beliau sudah menyaksikan dengan kesaksian yang meyakinkan.
Dalam Terjemahan Bahasa Indonesia berjudul : “Abul Hasan Asy Syadzili ; Kehidupan Do’a dan Hizibnya”
diterjemahkan Oleh Abu Bakar Basymeleh dan Ibrahim Mansur,
Penerbit Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan Pertama Desember 1992
Selengkapnya.....