Sabtu selepas dhuhur supi’i berniat untuk pergi ke toko buku, ia mendengar bahwa toko buku tersebut menggelar discount hingga 50 %. Letak toko buku itu tidak terlalu jauh dri rumah Supi’i, kira-kira 4 kilometeran, kalau naik sepeda motor perjalanan tidak sampai 15 menit. Toko buku itu tidak begitu besar layaknya sebuah toko buku seperti Gramedia, Uranus, Toga Mas maupun Manyar Jaya yang mempunyai bangunan unik khas toko buku. Dari luar malah nampak seperti rumah biasa, cuman ada tulisan nama toko buku itu yang menunjukkan bahwa bangunan itu adalah sebuah toko buku. Letak toko buku itupun tidak se strategis toko buku lainnya yang terletak di jalan protokol atau pusat perniagaan, tetapi toko buku tersebut terletak di perkampungan. Keuntungan toko buku itu adalah jalan di depan toko buku tersebut merupakan jalan menuju beberapa kampus di surabaya, selain toko buku tersebut dekat dengan kampus ekonomi swasta terkenal juga toko buku tersebut dekat dengan perpustakaan daerah jawa timur, satu lagi kekhasan toko buku tersebut adalah hanya menjual buku-buku agama islam.
Supi’i pergi ke toko buku tersebut memang untuk mencari buku “Lebih dekat kepada Allah” sebuah buku terjemahan dari Syarah al-Hikam karya Syaikh Ajibah al Hasani. Supi’i sudah mencari ke semua toko buku itu di surabaya tetapi dia belum menemukannya, semua stock habis. Tinggal toko buku itulah harapannya.
Pukul 14.00 lebih sedikit supi’i sampai di tempat toko buku tersebut. Sudah nampak 4 sepeda motor yang parkir di tempat parkir toko buku itu, tinggal 2 tempat parkir yang kosong untuk sepeda motor. Satu di ditempati oleh sepeda motor supi’i, sekarang praktis tinggal satu lagi yang kosong.
Sampai di dalam terlihat dua orang kasir dan beberapa pengunjung yang rata-rata perempuan dengan jilbab lebar dan besar serta laki-lakinya dengan penampilan berjanggut dan celana yang cingkrang. Hanya terlihat supi’i yang memakai Celana jeans Lee Cooper dan kaos oblong Joger. Supi’i tahu beberapa orang melirik dan mengamati supi’i, mungkin bagi mereka supi’i adalah orang asing, karena penampilan supi’i yang lain dari kebanyakan mereka yang masuk di toko buku tersebut. Supi’i cuek aja terhadap orang-orang yang mengamatinya. Bagi dia yang penting dia berniat untuk membeli buku dan tidak mencuri serta tidak mengganggu yang lainnya.
Sudah hampir satu jam supi’i mencari buku yang selama satu bulan ini dicari tapi belum ketemu juga. “Besar juga toko buku” guman supi’i, ada 4 ruangan yang masing-masing ruangan mempunyai identifikasi sendiri. Ruangan utama yaitu ruangan yang paling besar, disitu terdapat kasir dan buku-buku islam umum, ruangan tafsir alqur’an, ruangan buku-buku remaja dan novel serta ruangan yang difungsikan sebagai gudang untuk menyimpan stock buku. Tapi untuk buku-buku tasawuf jarang sekali bahkan bukunya bisa dihitung dengan jari. Hingga akhirnya seorang bapak tua pekerja disitu bertanya kepada supi’i “cari buku apa mas”. Supi’i yang disapa kemudian dengan tersenyum menjawab “buku Lebih dekat kepada Allah pak”. “Penerbitnya mana mas ?”. “oh pustaka Hidayah pak”. Sekejap kemudian bapak tua itu mencarikan buku itu untuk mengecek ke data base di komputernya. Tidak lama kemudian bapak tua tersebut mencari supi’i dan berkata : “wah gak ada mas, kalau buku ini gimana”. Sambil bapak tua itu menunjukkan buku tebal 2 jilid. “buku ini lengkap, mas bisa untuk bacaan selama setahun“. Supi’i cuma melirik judul buku tersebut yang masih ditangan bapak tua itu, terlihat nama-nama pengarang : Al-albany, Utsaimin, Bin Baz, ibn taimiyah dll. Supi’i cuma bisa mengira-kira bahwa buku tersebut merupakan kumpulan fatwa-fatwa dari mereka. Hingga akhirnya supi’i berkata “terima kasih pak, saya hari ini cari buku-buku tasawuf”.
Tampak jelas perubahan dari raut muka bapak itu yang menjadi tidak senang terhadap supi’i kemudian sambil berkata “Naqsyabandi itu sesat masak mereka masuk puasa dan lebaran lebih dulu, mereka itu sesat dan kafir”. Supi’i cuma bisa tersenyum meskipun dia sendiri merasa dongkol orang itu berkata demikian. Ia teringat akan berita di televisi dan media massa bahwa naqsyabandi Padang sumatera barat melakukan puasa dan lebaran lebih dahulu bila dibandingkan dengan pemerintah. Meskipun ia sendiri merupakan orang syadziliyah, tapi supi’i tahu kalau naqsyabandi itu adalah thoriqot yang mu’tabaroh yang aurad sanadnya nyambung hingga rasulullah saw. Supi’i sadar bahwa bapak tua didepannya ini adalah pengikut jamaah yang anti terhadap tasawuf dan begitu mudahnya memvonis jamaah lain di luar jamaahnya sesat, kafir, bid’ah. Supi’i jadi geli sendiri masak dengan perbedaan fiqih aja bapak tua itu sampai menyesatkan dan mengkafirkan orang lain. Didalam hati terus menerus supi’i beristghfar memohon ampunan untuk dirinya dan bapak tua itu, agar bapak tua itu diberi hidayah atau paling enggak untuk keturunannya sehingga tidak lagi anti tasawuf.
Supi’i segera pergi untuk mencari buku yang lain, ketimbang berdebat dengan bapak tua itu, karena pasti hatinya telah keras dan tidak ada hasilnya. Supi’i jadi teringat buku yang telah dibacanya yaitu terjemahan Lathaiful Minan karya Syaikh Ibn Atha’illah As sakandary, bahwa kakek Ibn Atha’illah As sakandary adalah seorang yang anti dan memusuhi tasawuf.
Dalam buku itu diceritakan bahwa seorang murid syaikh (abu al-abbas al-Mursy) bercerita kepadaku (Ibn Atha’illah)“ Syaikh Abu al-Abbas pernah berkata “ Apabila Ibn Atha’Illah fakih dari Iskandaria datang, kabari aku“. Maka ketika engkau datang kami segera memberitahu syaikh. Ia kemudian berkata “Mendekatlah !” kamipun maju mendekatinya, kemudian syaikh berujar : “Ketika kaum Quraisy mendustakan Rasulullah saw, Jibril mendatanginya beserta malaikat penguasa al Akhsyaiban (dua gunung di mekkah), Jibrial as kemudian berkata “ini adalah dua malaikat penguasa dua gunung ini. Allah memerintahkannya untuk menaati perintahmu dalam urusan kaum Quraisy”. Kemudian malaikat itu mengucapkan salam seraya berkata “Wahai Muhammad jika kau mau, akan aku timpakan kedua gunung ini kepada mereka dan pasti kulakukan”. Namun Rasulullah saw menjawab “JANGAN !!!” aku berharap semoga keturunan mereka yang mengimani keesaaan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Rasulullah saw bersabar menghadapi mereka karena berharap bahwa ada anak keturunan mereka yang mengikutinya. Demikian pula kita bersabar menghadapi kakek sang faqih ini (Ibn Atha’illah) demi dirinya.
Supi’i sadar bahwa orang beriman dan berislam itu ibarat menjadi buah, terkadang harus menjadi durian dimana manis isinya tetapi berduri kulitnya, terkadang seperti manggis dimana isinya tidak bisa dimakan, tetapi dagingnya sangat manis. Ada buah yang indah kulitnya, tetapi pahit isinya, dan hanya sedikit buah yang kulit dan isinya sama-sama indah, sama-sama manis. Ada orang yang puas dengan memamah kulit dan merasa cukup dengannya. Ada pula yang membuang kulit demi bisa menikmati isinya. Manusia sempurna adalah dia yang pakaian luarnya seindah jiwanya. Dialah para nabi, para rasul dan para wali dan kekasih Allah, merekalah teladan sejati.
Tepat adzan ashar berkumandang supi’i berniat kembali, dia menuju ke kasir untuk membayar buku yang didapat dari toko buku tersebut. Ada dua buku yang didapatnya yaitu pertama bukunya Syaikh Abdul Qodir al-Jilany yaitu Futuhul Ghaib yang dalam terjemahannya berjudul Menyingkap Rahasia Rahasia Ilahi dan bukunya Syaikh Ibn Atha’illah As sakandari yang berjudul Al-Qashad al Mujarrad fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrad yang di terjemahkan menjadi “Rahasia Asma Allah”.
Supi’i bersyukur sekali karena mendapat pengalaman dan pelajaran berharga yaitu pelajaran sabar, sabar dalam menghadapi bapak tua itu dan mendoakannya sesuai yang dilakukan oleh kanjeng nabi Muhammad saw terhadap suku Quraisy dan Syaikh Abbul Abbas Al Mursi terhadap kakeknya sang fakih Syaikh Atha’illah As Sakandary yang anti tasawuf, dan tentunya juga sabar dalam mencari buku, juga supi’i sangat bersyukur sekali tidak jadi emosi menghadapi bapak itu dan tentunya supi’i juga bersyukur karena mendapatkan potongan harga 30 % untuk dua buku yang dibelinya.
Supi’i pergi ke toko buku tersebut memang untuk mencari buku “Lebih dekat kepada Allah” sebuah buku terjemahan dari Syarah al-Hikam karya Syaikh Ajibah al Hasani. Supi’i sudah mencari ke semua toko buku itu di surabaya tetapi dia belum menemukannya, semua stock habis. Tinggal toko buku itulah harapannya.
Pukul 14.00 lebih sedikit supi’i sampai di tempat toko buku tersebut. Sudah nampak 4 sepeda motor yang parkir di tempat parkir toko buku itu, tinggal 2 tempat parkir yang kosong untuk sepeda motor. Satu di ditempati oleh sepeda motor supi’i, sekarang praktis tinggal satu lagi yang kosong.
Sampai di dalam terlihat dua orang kasir dan beberapa pengunjung yang rata-rata perempuan dengan jilbab lebar dan besar serta laki-lakinya dengan penampilan berjanggut dan celana yang cingkrang. Hanya terlihat supi’i yang memakai Celana jeans Lee Cooper dan kaos oblong Joger. Supi’i tahu beberapa orang melirik dan mengamati supi’i, mungkin bagi mereka supi’i adalah orang asing, karena penampilan supi’i yang lain dari kebanyakan mereka yang masuk di toko buku tersebut. Supi’i cuek aja terhadap orang-orang yang mengamatinya. Bagi dia yang penting dia berniat untuk membeli buku dan tidak mencuri serta tidak mengganggu yang lainnya.
Sudah hampir satu jam supi’i mencari buku yang selama satu bulan ini dicari tapi belum ketemu juga. “Besar juga toko buku” guman supi’i, ada 4 ruangan yang masing-masing ruangan mempunyai identifikasi sendiri. Ruangan utama yaitu ruangan yang paling besar, disitu terdapat kasir dan buku-buku islam umum, ruangan tafsir alqur’an, ruangan buku-buku remaja dan novel serta ruangan yang difungsikan sebagai gudang untuk menyimpan stock buku. Tapi untuk buku-buku tasawuf jarang sekali bahkan bukunya bisa dihitung dengan jari. Hingga akhirnya seorang bapak tua pekerja disitu bertanya kepada supi’i “cari buku apa mas”. Supi’i yang disapa kemudian dengan tersenyum menjawab “buku Lebih dekat kepada Allah pak”. “Penerbitnya mana mas ?”. “oh pustaka Hidayah pak”. Sekejap kemudian bapak tua itu mencarikan buku itu untuk mengecek ke data base di komputernya. Tidak lama kemudian bapak tua tersebut mencari supi’i dan berkata : “wah gak ada mas, kalau buku ini gimana”. Sambil bapak tua itu menunjukkan buku tebal 2 jilid. “buku ini lengkap, mas bisa untuk bacaan selama setahun“. Supi’i cuma melirik judul buku tersebut yang masih ditangan bapak tua itu, terlihat nama-nama pengarang : Al-albany, Utsaimin, Bin Baz, ibn taimiyah dll. Supi’i cuma bisa mengira-kira bahwa buku tersebut merupakan kumpulan fatwa-fatwa dari mereka. Hingga akhirnya supi’i berkata “terima kasih pak, saya hari ini cari buku-buku tasawuf”.
Tampak jelas perubahan dari raut muka bapak itu yang menjadi tidak senang terhadap supi’i kemudian sambil berkata “Naqsyabandi itu sesat masak mereka masuk puasa dan lebaran lebih dulu, mereka itu sesat dan kafir”. Supi’i cuma bisa tersenyum meskipun dia sendiri merasa dongkol orang itu berkata demikian. Ia teringat akan berita di televisi dan media massa bahwa naqsyabandi Padang sumatera barat melakukan puasa dan lebaran lebih dahulu bila dibandingkan dengan pemerintah. Meskipun ia sendiri merupakan orang syadziliyah, tapi supi’i tahu kalau naqsyabandi itu adalah thoriqot yang mu’tabaroh yang aurad sanadnya nyambung hingga rasulullah saw. Supi’i sadar bahwa bapak tua didepannya ini adalah pengikut jamaah yang anti terhadap tasawuf dan begitu mudahnya memvonis jamaah lain di luar jamaahnya sesat, kafir, bid’ah. Supi’i jadi geli sendiri masak dengan perbedaan fiqih aja bapak tua itu sampai menyesatkan dan mengkafirkan orang lain. Didalam hati terus menerus supi’i beristghfar memohon ampunan untuk dirinya dan bapak tua itu, agar bapak tua itu diberi hidayah atau paling enggak untuk keturunannya sehingga tidak lagi anti tasawuf.
Supi’i segera pergi untuk mencari buku yang lain, ketimbang berdebat dengan bapak tua itu, karena pasti hatinya telah keras dan tidak ada hasilnya. Supi’i jadi teringat buku yang telah dibacanya yaitu terjemahan Lathaiful Minan karya Syaikh Ibn Atha’illah As sakandary, bahwa kakek Ibn Atha’illah As sakandary adalah seorang yang anti dan memusuhi tasawuf.
Dalam buku itu diceritakan bahwa seorang murid syaikh (abu al-abbas al-Mursy) bercerita kepadaku (Ibn Atha’illah)“ Syaikh Abu al-Abbas pernah berkata “ Apabila Ibn Atha’Illah fakih dari Iskandaria datang, kabari aku“. Maka ketika engkau datang kami segera memberitahu syaikh. Ia kemudian berkata “Mendekatlah !” kamipun maju mendekatinya, kemudian syaikh berujar : “Ketika kaum Quraisy mendustakan Rasulullah saw, Jibril mendatanginya beserta malaikat penguasa al Akhsyaiban (dua gunung di mekkah), Jibrial as kemudian berkata “ini adalah dua malaikat penguasa dua gunung ini. Allah memerintahkannya untuk menaati perintahmu dalam urusan kaum Quraisy”. Kemudian malaikat itu mengucapkan salam seraya berkata “Wahai Muhammad jika kau mau, akan aku timpakan kedua gunung ini kepada mereka dan pasti kulakukan”. Namun Rasulullah saw menjawab “JANGAN !!!” aku berharap semoga keturunan mereka yang mengimani keesaaan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Rasulullah saw bersabar menghadapi mereka karena berharap bahwa ada anak keturunan mereka yang mengikutinya. Demikian pula kita bersabar menghadapi kakek sang faqih ini (Ibn Atha’illah) demi dirinya.
Supi’i sadar bahwa orang beriman dan berislam itu ibarat menjadi buah, terkadang harus menjadi durian dimana manis isinya tetapi berduri kulitnya, terkadang seperti manggis dimana isinya tidak bisa dimakan, tetapi dagingnya sangat manis. Ada buah yang indah kulitnya, tetapi pahit isinya, dan hanya sedikit buah yang kulit dan isinya sama-sama indah, sama-sama manis. Ada orang yang puas dengan memamah kulit dan merasa cukup dengannya. Ada pula yang membuang kulit demi bisa menikmati isinya. Manusia sempurna adalah dia yang pakaian luarnya seindah jiwanya. Dialah para nabi, para rasul dan para wali dan kekasih Allah, merekalah teladan sejati.
Tepat adzan ashar berkumandang supi’i berniat kembali, dia menuju ke kasir untuk membayar buku yang didapat dari toko buku tersebut. Ada dua buku yang didapatnya yaitu pertama bukunya Syaikh Abdul Qodir al-Jilany yaitu Futuhul Ghaib yang dalam terjemahannya berjudul Menyingkap Rahasia Rahasia Ilahi dan bukunya Syaikh Ibn Atha’illah As sakandari yang berjudul Al-Qashad al Mujarrad fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrad yang di terjemahkan menjadi “Rahasia Asma Allah”.
Supi’i bersyukur sekali karena mendapat pengalaman dan pelajaran berharga yaitu pelajaran sabar, sabar dalam menghadapi bapak tua itu dan mendoakannya sesuai yang dilakukan oleh kanjeng nabi Muhammad saw terhadap suku Quraisy dan Syaikh Abbul Abbas Al Mursi terhadap kakeknya sang fakih Syaikh Atha’illah As Sakandary yang anti tasawuf, dan tentunya juga sabar dalam mencari buku, juga supi’i sangat bersyukur sekali tidak jadi emosi menghadapi bapak itu dan tentunya supi’i juga bersyukur karena mendapatkan potongan harga 30 % untuk dua buku yang dibelinya.
2 komentar:
Salam dari seberang,
Saya Sunthara dari Malaysia , pengarang buku kewangan peribadi mesra pembaca berikut:
1) Kerjaya Perancangan Kewangan Peribadi
2) Rahsia Melabur Dalam Unit Amanah
3) Rahsia Mengurus Insurans Hayat
Boleh semak di laman blog saya dan juga GoogleBooks untuk cara belian olnine
http://ilmudigital.blogspot.com/
http://books.google.com.my/books?q=sunthara+segar&btnG=Search+Books&um=1
Boleh dipesan atau dibeli dari MPH, Popular atau terus dari penerbit Malaysia PTS 603-61880316
Terima kasih
Sunthara Segar CFP,RFP
Writer,Marketing and Copywriting Consultant
http://ilmudigital.blogspot.com
Kolumnis Ruangan Mengurus Kewangan Mingguan Wanita
Penulis Buku PTS Siri Pengurusan Kekayaan:
1) Kerjaya Perancangan Kewangan Peribadi
2) Rahsia Melabur Dalam Unit Amanah
3) Rahsia Mengurus Insurans Hayat
Assalamu'alaikum kakak...masih adakah buku Lathoiful Minan, jika ada boleh WhatsApp 085204947907 saya ingin membelinya. Semoga sehat selalu...amiin
.
Posting Komentar