26 Desember 2008

Rindu yang Membuncah

Gak Tahu kenapa, tiba-tiba supi’i merasa sangat kangen sekali kepada Syaikh Mursyidnya, Hadratusy Syaikh Sholahudin Abdul Djalil Mustaqim. Rindu itu begitu membuncah gak bisa ditahan lagi. Lebaran kurang beberapa hari supi’i pun nekat untuk berangkat langsung ke Tulungagung menuju pondok PETA untuk sekedar melihat Syaikh mursyid, syukur-syukur bisa bersalaman untuk mencium tangan beliau. Supi’i cuma bisa senyum-senyum sendiri membayangkan dirinya. Orang-orang kaya pada mengikuti paket umrah ramadhan ke tanah suci, tetapi supi’i cuma ke pondok PETA seminggu sebelum lebaran. Kalau dibilang suluk sih enggak, karena suluk di pondok PETA minimal adalah 10 hari.

Seminggu sudah supi’i di pondok tetapi hingga itu pula dia belum bertemu dengan Syaikh mursyidnya. Hingga pulang ke rumah supi’i pun belum bertemu dengan beliau. Meskipun tidak bertemu dengan syaikh mursyidnya Supi’i tidak begitu kecewa, baginya paling enggak sudah sampai di peta itu sudah mengobati kerinduan ruhaninya kepada sang Syaikh Mursyid, paling enggak dia sudah bisa melihat Musholla PETA tempat ia dibai’at untuk mengamalkan aurod Syadziliyah oleh sang syaikh mursyid, paling enggak ia sudah bertemu dengan Kang Wasi’, kang Jumal dan teman-teman yang lagi suluk di pondok, paling enggak ia sudah bisa berziarah kemakam Hadratusy Syaikh Mustaqim Husain dan Hadratusy Syaikh Abdul Djalil Mustaqim.

Beberapa hari lebaran hingga lebaran ketupat adalah moment yang ditunggu-tunggu murid Syadziliyah untuk silaturrahmi dengan syaikh mursyid, tetapi supi’i tidak bisa menggunakan kesempatan ini dikarenakan dia sudah ada janji dengan keluarganya. Hingga moment itupun berlalu.

Hingga kesempatan untuk bertemu dengan Syaikh mursyid itupun kembali muncul dengan adanya program silaturrahmi ke syaikh Mursyid dan beberapa kyai Syadziliyah PETA yang diadakan oleh Majelis Pengajian Cahaya Ilahi Surabaya yang dikoordinatori oleh Ibu Hj. Wiwik Malik. Rindu untuk bertemu dengan Syaikh mursyidpun kembali muncul.

Malam hari sebelum berangkat ke PETA adalah bertepatan dengan jadwal khususiyah. Setelah khususiyah itupun seperti biasa sang imam, kang wasi’ memberikan beberapa pesan bahwa besok bila di PETA ketemu atau tidak ketemu dengan syaikh mursyid itu sama saja keberkahannya, kita harus bisa menerima itu, yang penting hati kita tetap khusnudzon dan sikap kita tetap harus menjaga adab terhadap syaikh mursyid karena tentunya syaikh mursyid pastilah yang lebih tahu tentang hal ini. Pesan kang wasi’ tersebut membuat supi’i dan jamaah khususiyah yang lain semakin ridho apalagi pada kesempatan tersebut kang wasi’ juga bercerita dan memberikan beberapa contoh tentang orang-orang yang sowan ke syaikh Mursyid sebelum-sebelumnya.

Tepat sebelum azhan subuh bergema supi’i segera melaksanakan sholat tahujud ringan beberapa rokaat. Sambil menunggu adzan subuh supi’i teruskan kegiatan ibadah pada malam hari itu dengan tadarus alqur’an hingga beberapa ayat dari kitab suci itupun ia baca. Ia lihat waktu masih banyak, hingga kesempatan itupun ia gunakan untuk mandi, Ia sucikan seluruh tubuh dan hatinya, Ia guyur seluruh tubuhnya dengan niat untuk menemui syaikh mursyid sebagai adab dirinya terhadap syaikh mursyidnya dan bentuk penghormatan dan pengagungan kepada syaikh mursyidnya yang telah membimbing dirinya dan murid-murid syadziliyah yang lain untuk wushul kepada Allah azza wa jalla, tidak hanya dihantarkan ke pintu Allah tetapi langsung hingga ke hadapan Allah. Hal ini Supi’i lakukan karena Supi’i ber ittiba’ kepada apa yang dilakukan oleh Quthubul Muhaqqiqin Sulthonul Auliya’is sayyidinasy Syaikh Abul Hasan Ali Asy syadzily ketika menemui guru beliau Sayyidisy Syaikh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, rodliyallahu ‘anhuma wa ‘aada ‘alainaa mim barokatihima wa anwaarihima wa asroorihima wa ‘uluumihima wa akhlaaqihima wa nafakhaatihima fidiini wad dun-ya wal aakhihiroh, aamiina yaa robbal ‘aalamiin. Sebelum menemui syaikh Abdus Salam, beliau berhenti dan mandi di pancuran mata air sebelum puncak gunung barbatoh. Malam itu bagi supi’i mandinya menjadi terasa lain dibandingkan dengan mandi-mandi sebelumnya.

Adzan Subuh berkumandang, setelah shalat fajar dan sholat subuh serta wiridan, supi’i pun secara khusus bertawasul dengan membaca fatihah sebanyak masing-masing 41 kali yang ditujukan kepada syaikh mursyidnya, syaikh abdul Djalil, syaikh mustaqiem, dan kyai-kyai yang akan dikunjunginya. Setelah itu supi’i beristighfar sebanyak-banyaknya. Tepat pukul 05.00 supi’i berangkat menuju rumah ibu Hj. Wiwik Malik untuk seterusnya menuju pondok PETA. Dalam perjalanan menuju ke Pondok PETA itu tak henti-hentinya supi’i membaca sholawat syadziliyah, istighfar, sholawat lagi, istighfar lagi begitu terus bergantian, tetapi di dalam hatinya tetap bunyi Allah...Allah...Allah yang selalu ia zikirkan seirama dengan bunyi detak jantungnya.

Singkat cerita, alhamdulillah ketika sesampainya di Pondok PETA, jamaah langsung berziarah kemakam hadratusy syaikh Abdul Djalil dan hadratusy Syaikh Mustaqiem. Baru setelah itu kang Jumal berbicara kepada jamaah untuk di aturi pinarak oleh Syaikh Mursyid di ruang tamu beliau. Alhamdulillah ucap syukur supi’i mendengar keterangan yang disampaikan oleh kang Jumal tersebut. Dan para jamaahpun langsung menuju ruang tamu untuk menghadap syaikh mursyid.

Ketika semua telah siap, baru kemudian syaikh mursyid keluar untuk menemui jamaah MCIS (majelis Cahaya Ilahi Surabaya). Hati Supi’i berdegup lebih kencang, anehnya dzikir hati supi’i Allah...Allah....Allah juga menjadi lebih cepat dari yang tadi. Supi’ipun tidak berani lama-lama menatap Wajah Syaikh Mursyid, ia hanya menunduk dan sesekali melihat wajah teman-temannya. Tampak juga wajah Supi’ah yang meskipun tidak sampai termehek-mehek tetapi terlihat jelas di raut wajahnya sedikit mewek. Supi’i yakin bahwa supi’ah juga menahan haru rindu kepada syaikh mursyid. Raut wajah rindu yang bahagia setelah bertemu dengan syaikh mursyid. Yah haru rindu untuk dibimbing oleh syaikh mursyid menuju Allah SWT.

Sekitar satu jam lamanya syaikh mursyid memberikan wejangan kepada kami para jamaah. Selama itu pula supi’i tinggalkan semua ilmu dan amalnya, ia tidak peduli paham apa enggak yang dikatakan oleh syaikh mursyid, yang cuma ia lakukan adalah berzikir terus Allah...Allah...Allah dalam hatinya. Ya zikir itu seperti bergerak dan meluncur sendiri dalam hatinya ketika berdekatan dengan syaikh mursyid. Yang supi’i rasakan selanjutnya adalah tubuhnya terasa lebih hangat. Itulah ulama sesungguhnya, yang hatinya selalu memancarkan cahaya Ilahiyah untuk diteruskan kepada para murid-muridnya. Ulama yang bisa menyentuh hati murid-muridnya untuk selalu ingat kepada Allah. Kata-kata yang beliau ucapkan pun penuh dengan mutiara hikmah yang dalam sebagaimana air lautan yang yang tak akan pernah habis bila digunakan sebagai tinta untuk menulis hikmah dari beliau.

Meskipun pada dawuh atau wejangan beliau berkisar tentang tasawuf (secara detail apa yang didawuhkan beliau bisa anda baca disini) yaitu tentang thoreqot, masalah, bencana, istiqomah, ridho, tawakal, sabar dan iman yang beliau ucapkan dengan membuat kiasan dan perumpamaan-perumpamaan, tetapi apa yang beliau dawuhkan mampu memberikan solusi bagi para jamaah, padahal tentunya masalah atau problem para jamaah masing-masing adalah berbeda-beda. Termasuk juga ketika supi’i di dalam hati berniat bertanya tentang sesuatu yang menyangkut dirinya. Syaikh mursyidpun tahu dan langsung menjawabnya. Supi’i cuma bisa nyengir dan senyum-senyum sendiri mendengar jawaban syaikh mursyid, tentunya senyum bahagia karena sudah menemukan solusinya. Supi’i haqqul yakin bahwa para jamaah yang lain yang punya ganjelan di hatinya juga mengalami hal yang sama, persoalan dan masalah masing-masing jamaah mampu dijawab oleh syaikh mursyid meskipun para jamaah belum bertanya kepada syaikh mursyid.

Segelas sirup dan makanan ringan disuguhkan kepada kami untuk menyegarkan rasa dahaga dan lapar dari fisik kami, tetapi dawuh, nasehat dan pesan beliau mampu meyegarkan kembali ruhani kami untuk selalu semangat menuju ke Ilahi Robbi. Termasuk juga supi’i rindunya yang membuncah terasa hangus hilang terbakar oleh cahaya Sang Poros Agung Syaikh Mursyid, Hadratusy syaikh Sholahuddin Abdul Djalil Mustaqiem.


Selengkapnya.....

06 Desember 2008

All About Salam

Kata salaam dalam Bahasa Arab mempunyai arti keselamatan, kesejahteraan atau kedamaian. Kata salampun juga merupakan salah astu asma Allah yang terdapat dalam 99 asma’ul Husna. Disamping itu juga salam (assalamu’alikum warohmatulloh) juga merupakan salah satu rukun dalam sholat. Sebegitu pentingnya salam hingga Rasululloh SAW pun menganjurkan untuk menyebarluaskan salam bila bertemu dengan sesama muslim dan mewajibkan menjawab salam bila menerima ucapan salam.

Berikut ini hal-hal yang sering kita lupakan entah itu disengaja atau karena itu memang sudah menjadi budaya kita berkaitan tentang salam :

Sering kali kita bila pergi kerumah seseorang apalagi rumah itu seorang kyai, ulama atau orang terpandang lainnya selalu kita mengucapkan salam, tetapi sering kali bila kita pulang kerumah, kita selalu lupa untuk mengucapkan salam. Padahal salam itu adalah doa yaitu doa keselamatan, kerahmatan dan keberkahan. Seharusnya kalau kita pikir tentunya keluarga kita yang lebih utama untuk kita do’akan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW : “Jika engkau hendak masuk ke rumahmu, hendaklah engkau salam, niscaya berkah akan turun kepadamu dan keluargamu.” (HR Turmudzi)

Sering kali bila kita pulang kerumah dan rumah dalam keadaan kosong, kita lupa mengucapkan salam yang telah di ajarkan oleh Rasululloh yaitu : Assalamu’alainaa ‘ibaadillahish shaalihin. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad SAW : “Dan jika tidak ada seorangpun di dalamnya, maka ucapkan, Assalamu’alainaa ‘ibaadillahish shaalihin.” (HR Muslim)

Sering kali bila kita bertamu ke rumah orang lain, selalu kita mengucapkan salam meskipun pintu rumahnya masih tertutup dan belum terlihat orangnya. Padahal seharusnya adab kita adalah kulonuwun/permisi, mengetuk pintu, atau memencet bel dulu, baru setelah Tuan rumah keluar di hadapan kita, maka kita mengucapkan salam kepadanya. sebagaimana firman Allah SWT : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat" (An Nuur [24]: 27). Dan Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW : “Jika seseorang di antara kalian bertemu dengan saudaranya, hendaklah dia memberinya salam, dan jika terpisah antara keduanya oleh pohon, tembok ataupun batu besar lalu bertemu kembali, hendaklah kalian mengucapkan salam lagi kepadanya.” (HR Abu Dawud).

Sering kali bila kita mendapat salam dari orang lain kita cuma menjawab salam tersebut dengan : “Wa ’alaikum salam”, padahal jawaban tersebut kurang sempurna dan setara, harusnya jawaban kita adalah : “Wa ‘alaikumus salaam”. Perhatikan perbedaan keduanya. Pada kata yang pertama (salaam) berarti keselamatan, sedangkan pada kata kedua (as salaam) mengandung makna seluruh keselamatan. Tentu saja tidak setara antara keselamatan dan seluruh keselamatan. Jawaban "Wa'alaikum salaam ..." mempunyai makna keselamatan atas kalian; sedangkan jawaban "wa ‘alaikumus salaam ..." mempunyai makna seluruh keselamatan atas kalian. Tentu saja jawaban "Wa'alaikum salaam (keselamatan atas kalian)..." tidak setara apabila pemberi salam megucapkan: "Assalaamu ‘alaikum (Seluruh keselamatan atas kalian) ...!. syukur-syukur kalau kita menjawab lebih lengkap yaitu : "Wa'alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh" Sebagaimana firman Allah SWT : "Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu" (An Nisaa' [4]: 86).

Sering kali kita terlalu “kengệthệken (jawa)” bila kita menerima telepon kita selalu mendahului untuk mengucapkan salam, meskipun itu tidak dilarang atau malah dianjurkan asalkan kita mengatahui pasti dan yakin bahwa itu benar-benar seorang muslim, tetapi alangkah baiknya bila kita menunggu saja, apalagi kalau telepon itu adalah model telepon rumah yang tidak ada ID callernya. Hal ini dikhawatirkan bahwa yang menelepon tersebut adalah non muslim. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad SAW : “Janganlah mendahului Yahudi dan Nasrani dengan ucapan salam, jika engkau menemui salah seorang daripada mereka di jalan, desaklah hingga mereka menepi dari jalan”. (HR. Muslim) dan bersabda pula Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika ahli kitab memberi salam kepadamu maka jawablah dengan wa’alaikum” (mutafaq alaihi).

Sering kali bila kita mengirim sms, kata salam selalu kita singkat dengan kata “ass” padahal kata ass dalam bahasa inggris berarti : Pantat. Sungguh sesuatu yang sangat tidak etis dan tidak mempunyai adab apabila kata salam yang begitu agung, yang merupakan nama Allah mempunyai arti lain yang lebih hina. Naudzu billahi mindzalik.

Sering kali kita mendengar entah itu presenter ditelevisi, entah itu seorang MC, dalam mengawali acara selalu salah dalam mengucap salam, seperti : Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuuuuh. Dengan kata ka yang pendek dan kata tuh yang panjang, padahal seharusnya adalah kata ka adalah panjang sepanjang Mad Thobi’i, dan kata tuh adalah pendek karena bukan mad.

Sering kali kita mendengar atau mungkin kita sendiri yang melakukan pada waktu akhir sholat salam kita yang kita ucapkan adalah : Salamu’alaikum warohmatulloh. Padahal seharusnya ada huruf alif Lam, yang disebut bacaan idhom syamsyiah karena bertemu dengan sin sehingga menjadi : Assalamu’alaikum warohmatulloh. Padahal kita tahu bahwa salam dalam sholat adalah merupakan rukun yang harus dilakukan, bila tidak maka tidak sah sholatnya.

“Allahumma antas salaam, wa minkas salaam, wa ilaika ya’uudus salaam, fachaiyina robbanaa bis salaam, wa adkhilnal jannata daaros salaam, tabaarokta robbanaa wata’aalaita yaa dzal Jalaali wal ikroom”
Selengkapnya.....

01 Desember 2008

Hizib Bahri

Dalam tradisi arab, kata Hizib semula ditandai untuk merujuk sesuatu yang “berduyun-duyun” dan “berkelompok”. Itulah makanya ada kata “Hizbullah”, artinya “sekumpulan” bala tentara yang berjuang atas nama Allah. Tetapi kata Hizbullah sendiri kadang juga digunakan untuk menyebut para malaikat.

Masih segar dalam ingatan kita, ketika Nabi dan para sahabat bertempur melawan kaum musyrikin dalam perang badar, Allah sengaja mendatangkan 5000 pasukan sebagai bala bantuan yang bertandakan putih, mereka adalah para malaikat (Hizbullah)

Kata Hizib sendiri terkadang juga digunakan untuk menyebut “mendung yang berarak” atau “mendung yang tersisa”. Semisal hizbun min al-ghumum (sebagian atau sekelompok mendung)

Ternyata untuk selanjutnya perkembangan kata hizib dalam tradisi thoriqot atau yang berkembang di pesantren adalah untuk “menandai” sebuah bacaan-bacaan tertentu. Misalnya hizib yang dibaca hari jum’at ; yang dimaksud adalah wirid-wirid tertentu yang dibaca hari jum’at.

Untuk selanjutnya, makna hizib adalah wirid itu sendiri. Atau juga bisa bermakna munajat, ada hizib Ghazaly, Hizib Bukhori, Hizib Nawawi, Hizib Bahri, yang masing-masing memiliki sejarah sendiri-sendiri.

Asy Syaikh Abul Hasan Asy Syadzily terkenal sebagai seorang yang memiliki banyak rangkaian doa yang halus dan indah, disamping kekayaan berupa khazanah hizib-hizibnya. Salah satu hizib beliau yang terkenal sejak dulu hingga sekarang adalah hizib Bahri dan hizib Nashor. Kedua hizib tersebut banyak diamalkan oleh kaum muslimin diseluruh dunia, terlebih ulama-ulama besar, kendati sebagian dari mereka tidak mengikuti thoriqot asy syaikh.

Hizib Bahri yang artinya hizib yang di terima asy syaikh Abul Hasan asy Syadzili langsung dari Rasulullah SAW berkaitan dengan lautan yang tidak ada anginnya. Sejarah diterima hizib bahri adalah sebagai berikut :

Pada waktu itu asy syaikh Abul Hasan Asy Syadzili tengah melakukan perjalan ibadah haji ke tanah suci. Perjalanan itu diantaranya harus menyeberangi laut merah. Untuk menyeberangi lautan itu sedianya beliau akan menumpang perahu milik seseorang yang beragama nasrani. Orang itu juga akan berlayar walaupun berbeda tujuan dengan asy syaikh. Akan tetapi keadaan laut pada waku itu sedang tidak ada angin yang cukup untuk menjalankan kapal. Keadaan seperti itu terjadi sampai berhari-hari, sehingga perjalannapun menjadi tertunda. Sampai akhirnya pada suatu hari, asy syaikh bertemu dengan baginda Rasulullah SAW. Dalam perjumpaan itu, Rasulullah SAW secara langsung mengajarkan hizib Bahri secara imla’ (dikte) kepada asy syaikh.

Setelah hizib Bahri yang baru beliau terima dari Rasulululah SAW itu beliau baca, kemudian beliau menyuruh si pemilik perahu itu supaya berangkat dan menjalankan perahunya. Mengetahui keadaan yang tidak memungkinkan, karena angin yang diperlukan untuk menjalankan perahu tetap tidak ada, orang itupun tidak mau menuruti perintah asy syaikh. Namun asy syaikh tetap menyuruh agar perahu diberangkatkan. “Ayo, berangkat dan jalankan perahumu ! sekarang angin sudah waktunya datang “, ucap asy syaikh kepada orang itu. Dan memang benar kenyataannya, angin secara perlahan-lahan mulai berhembus, dan perahupun akhirnya bisa berjalan. Singkat cerita alkisah kemudian si nasrani itupun lalu menyatakan masuk islam.

Berkata syaikh Abdurrahman al Busthomi, “Hizbul Bahri ini sudah digelar di permukaan bumi. Bendera hizbul bahri berkibar dan tersebar di masjid-masjid. Para ulama sudah mengatakan bahwa hizbul bahri mengandung Ismullohil ‘adhom dan beberapa rahasia yang sangat agung.

Dalam kitab Kasyf al-Zhunun `an Asami al-Kutub wa al-Funun, Haji Khalifah seorang pustakawan terkenal asal Konstantinopel (Istanbul Turki) menulis berbagai jaminan yang diberikan asy Syaikh Abul Hasan Syadzili dengan Hizib Bahrinya ini. Di antaranya, menurut Haji Khalifah, Asy Syaikh Syadzili pernah berkata: Seandainya hizibku (Hizib Bahri, Red.) ini dibaca di Baghdad, niscaya daerah itu tidak akan jatuh. Mungkin yang dimaksud Asy Syaikh Syadzili dengan kejatuhan di situ adalah kejatuhan Baghdad ke tangan Tartar.

Bila Hizib Bahri dibaca di sebuah tempat, maka termpat itu akan terhindar dari malapetaka, ujar Syaikh Abul al-Hasan, seperti ditulis Haji Khalifah dalam Kasyf al-Zhunun.

Haji Khalifah juga mengutip komentar ulama-ulama lain tentang Hizib Bahri ini. Ada yang mengatakan, bahwa orang yang istiqamah membaca Hizib Bahar, ia tidak mati terbakar atau tenggelam. Bila Hizib Bahri ditulis di pintu gerbang atau tembok rumah, maka akan terjaga dari maksud jelek orang dan seterusnya.

Konon, orang yang mengamalkan Hizib Bahri dengan kontinu, akan mendapat perlindungan dari segala bala’. Bahkan, bila ada orang yang bermaksud jahat mau menyatroni rumahnya, ia akan melihat lautan air yang sangat luas. Si penyatron akan melakukan gerak renang layaknya orang yang akan menyelamatkan diri dari daya telan samudera. Bila di waktu malam, ia akan terus melakukan gerak renang sampai pagi tiba dan pemilik rumah menegurnya.

Banyak komentar-komentar, baik dari Asy Syaikh Syadzili maupun ulama lain tentang keampuhan Hizib Bahri yang ditulis Haji Khalifah dalam Kasyf al-Zhunun jilid 1 (pada entri kata Hizb). Selain itu, Haji Khalifah juga menyatakan bahwa Hizib Bahri telah disyarahi oleh banyak ulama, diantaranya Syaikh Abu Sulayman al-Syadzili, Syaikh Zarruq, dan Ibnu Sulthan al-Harawi.

Seperti yang telah disampaikan dalam manaqib Asy Syaikh Syadzili, bahwa menjelang akhir hayat beliau, asy syaikh telah berwasiat kepada murid-murid beliau agar anak-anak mereka, maksudnya para murid thoriqot syadziliyah, supaya mengamalkan hizib Bahri. Namun untuk mengamalkan Hizib ini seyogyanya harus melalui talqin atau ijazah dari seorang guru yang memiliki wewenang untuk mengajarkannya. Seseorang yang tidak mempunyai wewenang tidak berhak mengajarkannya ataupun memberikan hizib ini kepada orang lain. Hal ini merupakan adabiyah atau etika dilingkungan dunia thoriqot.

Dalam Thoriqot Syadziliyah Peta Tulungagung, setiap mengamalkan aurod, wirid maupun hizib selalu diawali dengan niat dan kata “Lillahi ta’ala”, setiap murid tidak boleh bertanya apa fadhilah maupun faedah dari wirid ataupun hizib tersebut, karena hal tersebut bisa mengurangi atau menghilangkan keikhlasan. Bagi jamaah Syadziliyah Peta Tulungagung fungsi Hizib itu sendiri adalah untuk meng-Hizib dirinya sendiri, untuk merontokkan hawa nafsunya, sehingga bisa wushul kepada Allah. Itulah Tujuan utama orang berthoriqot, karena kalau tujuannya bukan untuk Allah (bukan Lillahi ta’ala) maka itu akan menjadi Hijab antara dirinya dengan Allah, bukan semakin dekat malah semakin jauh dari Allah SWT, naudzubillahi mindhalik.

Sumber :
1. Sang Quthub Agung, manaqib Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili, Penerbit PETA, Tulungagung.
2. www.sidogiri.com
3. Sastra Hizib, penerbit LKIS


Selengkapnya.....

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template