28 Oktober 2008

Rizal dan mbah Hambali

Sebagai lelaki, sebetulnya umur 37 tahun belum terbilang tua benar. Tapi Rizal tak tahu mengapa kawan-kawannya selalu mengejeknya sebagai bujang lapuk, hanya karena dia belum kawin. Orang tuanya sendiri, terutama ibunya, juga begitu. Seolah-olah bersekongkol dengan kawan-kawannya itu; hampir di setiap kesempatan selalu menanyainya apakah dia sudah mendapatkan calon pendamping atau belum. Rizal selalu menanggapi semua itu hanya dengan senyum-senyum.

Jangan salah sangka! Tampang Rizal tidak jelek. Bahkan dibanding rata-rata kawannya yang sudah lebih dahulu kawin, tampang Rizal terbilang sangat manis. Apalagi bila tersenyum. Sarjana ekonomi dan aktivis LSM. Kurang apa?

"Terus teranglah, Zal. Sebenarnya cewek seperti apa sih yang kau idamkan?" tanya Andik menggoda, saat mereka berkumpul di rumah Pak Aryo yang biasa dijadikan tempat mangkal para aktivis LSM kelompoknya Rizal itu. "Kalau tahu maumu, kita kan bisa membantu, paling tidak memberikan informasi-informasi."

"Iya, Zal," timpal Budi, "kalau kau cari yang cantik, adikku punya kawan cantik sekali. Mau kukenalkan? Jangan banyak pertimbanganlah! Dengar-dengar kiamat sudah dekat lho, Zal."

"Mungkin dia cari cewek yang hafal Quran ya, Zal?!" celetuk Eko sambil ngakak. "Wah kalau iya, kau mesti meminta jasa ustadz kita, Kang Ali ini. Dia pasti mempunyai banyak kenalan santri-santri perempuan, termasuk yang hafizhah."

"Apa ada ustadz yang rela menyerahkan anaknya yang hafizhah kepada bujang lapuk yang nggak bisa ngaji seperti Rizal ini?" tukas Edy mengomentari.

"Tenang saja, Zal!" ujar Kang Ali, "kalau kau sudah berminat, tinggal bilang saja padaku."

"Jangan-jangan kamu impoten ya, Zal?" tiba-tiba Yopi yang baru beberapa bulan kawin ikut meledek. Rizal meninju lengan Yopi, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum kecut.

"Tidak sumbut dengan tampilannmu," celetuk Pak Aryo ikut nimbrung sehabis menyeruput kopinya. "Tampang boleh, sudah punya penghasilan lumayan, sarjana lagi; sama cewek kok takut! Aku carikan bagaimana?"

"Jawab dong, Zal!" kata Bu Aryo yang muncul menghidangkan pisang goreng dan kacang rebus, mencoba menyemangati Rizal yang tak berkutik dikerubut kawan-kawannya.

"Biar saja, Bu," jawab Rizal pendek tanpa nada kesal. "Kalau capek kan berhenti sendiri."

Memang Rizal orangnya baik. Setiap kali diledek dan digoda kawan-kawannya soal kawin begitu, dia tidak pernah marah. Bahkan diam-diam dia bersyukur kawan-kawannya memperhatikan dirinya. Dan bukannya dia tidak pernah berpikir untuk mengakhiri masa lajangnya; takut pun tidak. Dia pernah mendengar sabda Nabi yang menganjurkan agar apabila mempunyai sesuatu hajat yang masih baru rencana jangan disiar-siarkan. Sudah sering --sampai bosan-- Rizal menyatakan keyakinannya bahwa jodoh akan datang sendiri, tidak perlu dicari. Dicari ke mana-mana pun, jika bukan jodoh pasti tidak akan terwujud. Jodoh seperti halnya rezeki. Mengapa orang bersusah-payah memburu rezeki, kalau rezeki itu sudah ditentukan pembagiannya dari Atas. Harta yang sudah di tangan seseorang pun kalau bukan rezekinya akan lepas. Dia pernah membaca dalam buku "Hikam"-nya Syeikh Ibn ’Athaillah As-Sakandarany sebuah ungkapan yang menarik, "Kesungguhanmu dalam memperjuangankan sesuatu yang sudah dijamin untukmu dan kesambalewaanmu dalam hal yang dituntut darimu, membuktikan padamnya mata-hati dari dirimu."

Setiap teringat ungkapan itu, Rizal merasa seolah-olah disindir oleh tokoh sufi dari Iskandariah itu. Diakuinya dirinya selama ini sibuk --kadang-kadang hingga berkelahi dengan kawan-- mengejar rezeki, sesuatu yang sebetulnya sudah dijamin Tuhan untuknya. Sementara dia sambalewa dalam berusaha untuk berlaku lurus menjadi manusia yang baik, sesuatu yang dituntut Tuhan.
"Suatu ketika mereka akan tahu juga," katanya dalam hati.
***
Syahdan, pada suatu hari, ketika kelompok Rizal berkumpul di rumah Pak Aryo seperti biasanya, Kang Ali bercerita panjang lebar tentang seorang "pintar" yang baru saja ia kunjungi. Kang Ali memang mempunyai kesukaan mengunjungi orang-orang yang didengarnya sebagai orang pintar; apakah orang itu itu kiai, tabib, paranormal, dukun, atau yang lain. "Aku ingin tahu," katanya menjelaskan tentang kesukaannya itu, "apakah mereka itu memang mempunyai keahlian seperti yang aku dengar, atau hanya karena pintar-pintar mereka membohongi masyarakat sebagaimana juga terjadi di dunia politik." Karena kesukaannya inilah, oleh kawan-kawannya Kang Ali dijuluki pakar "orang pintar".

"Meskipun belum tua benar, orang-orang memanggilnya mbah. Mbah Hambali. Orangnya nyentrik. Kadang-kadang menemui tamu ote-ote, tanpa memakai baju. Kadang-kadang dines pakai jas segala. Tamunya luar biasa; datang dari segala penjuru tanah air. Mulai dari tukang becak hingga menteri. Bahkan menurut penuturan orang-orang dekatnya, presiden pernah mengundangnya ke istana. Bermacam-macam keperluan para tamu itu; mulai dari orang sakit yang ingin sembuh, pejabat yang ingin naik pangkat, pengusaha pailit yang ingin lepas dari lilitan utang, hingga caleg nomor urut sepatu yang ingin jadi. Dan kata orang-orang yang pernah datang ke Mbah Hambali, doa beliau memang mujarab. Sebagian di antara mereka malah percaya bahwa beliau waskita, tahu sebelum winarah."

Pendek kata, menurut Kang Ali, Mbah Hambali ini memang lain. Dibanding orang-orang "pintar" yang pernah ia kunjungi, mbah yang satu ini termasuk yang paling meyakinkan kemampuannya.

"Nah, kalau kalian berminat," kata Kang Ali akhirnya, "aku siap mengantar."

"Wah, ide bagus ini," sahut Pak Aryo sambil merangkul Rizal. "Kita bisa minta tolong atau minimal minta petunjuk tentang jejaka kasep kita ini. Siapa tahu jodohnya memang melalui Mbah Hambali itu."

"Setujuuu!" sambut kawan-kawan yang lain penuh semangat seperti teriakan para wakil rakyat di gedung parlemen. Hanya Rizal sendiri yang, seperti biasa, hanya diam saja; sambil senyum-senyum kecut. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia keberatan. Apakah sikapnya itu karena dia menghargai perhatian kawan-kawannya dan tak mau mengecewakan mereka, atau sebenarnya dia pun setuju tapi malu, atau sebab lain, tentu saja hanya Rizal yang tahu. Tapi ketika mereka memintanya untuk menetapkan waktu, dia tampak tidak ragu-ragu menyebutkan hari dan tanggal; meski seandainya yang lain yang menyebutkannya, semuanya juga akan menyetujuinya, karena hari dan tanggal itu merupakan waktu prei mereka semua.
***
Begitulah. Pagi-pagi pada hari tanggal yang ditentukan, dipimpin Kang Ali, mereka beramai-ramai mengunjungi Mbah Hambali. Ternyata benar seperti cerita Kang Ali, tamu Mbah Hambali memang luar biasa banyaknya. Pekarangan rumahnya yang luas penuh dengan kendaraan. Dari berbagai plat nomor mobil, orang tahu bahwa mereka yang berkunjung datang dari berbagai daerah. Rumahnya yang besar dan kuno hampir seluruh ruangnya merupakan ruang tamu. Berbagai ragam kursi, dari kayu antik hingga sofa model kota, diatur membentuk huruf U, menghadap dipan beralaskan kasur tipis di mana Mbah Hambali duduk menerima tamu-tamunya. Di dipan itu pula konon si mbah tidur. Persis di depannya, ada tiga kursi diduduki mereka yang mendapat giliran matur.

Ternyata juga benar seperti cerita Kang Ali, Mbah Hambali memang nyentrik. Agak deg-degan juga rombongan Rizal cs melihat bagaimana "orang pintar" itu memperlakukan tamu-tamunya. Ada tamu yang baru maju ke depan, langsung dibentak dan diusir. Ada tamu yang disuruh mendekat, seperti hendak dibisiki tapi tiba-tiba "Au!" si tamu digigit telinganya. Ada tamu yang diberi uang tanpa hitungan, tapi ada juga yang dimintai uang dalam jumlah tertentu.

Giliran rombongan Rizal cs diisyarati disuruh menghadap. Kang Ali, Pak Aryo, dan Rizal sendiri yang maju. Belum lagi salah satu dari mereka angkat bicara, tiba-tiba Mbah Hambali bangkit turun dari dipannya, menghampiri Rizal. "Pengumuman! Pengumuman!" teriaknya sambil menepuk-nepuk pundak Rizal yang gemetaran. "Kenalkan ini calon menantu saya! Sarjana ekonomi, tapi nyufi!" Kemudian katanya sambil mengacak-acak rambut Rizal yang disisir rapi, "Sesuai yang tersurat, kata sudah diucapkan, disaksikan malaikat, jin, dan manusia. Apakah kau akan menerima atau menolak takdirmu ini?"

"Ya, Mbah!" jawab Rizal mantap.
"Ya bagaimana? Jadi maksudmu kau menerima anakku sebagai istrimu?"

"Ya, menerima Mbah!" sahut Rizal tegas.
"Ucapkan sekali lagi yang lebih tegas!"

"Saya menerima, Mbah!"
"Alhamdulillah! Sudah, kamu dan rombonganmu boleh pulang. Beritahukan keluargamu besok lusa suruh datang kemari untuk membicarakan kapan akad nikah dan walimahnya!"

Di mobil ketika pulang, Rizal pun dikeroyok kawan-kawannya.
"Lho, kamu ini bagaimana, Zal?" kata Pak Aryo penasaran. "Tadi kamu kok ya ya saja, seperti tidak kau pikir."

"Kau putus asa ya?" timpal Budi. "Atau jengkel diledek terus sebagai bujang lapuk, lalu kau mengambil keputusan asal-asalan begitu?"
"Ya kalau anak Mbah Hambali cantik," komentar Yopi, "kalau pincang atau bopeng, misalnya, bagaimana?"

"Pernyataanmu tadi disaksikan orang banyak lho," kata Eko mengingatkan. "Lagi pula kalau kau ingkar, kau bisa kualat Mbah Hambali nanti!"
"Jangan-jangan kau diguna-gunain Mbah Hambali, Zal!" kata Andik khawatir.

Seperti biasa, Rizal hanya diam sambil senyum-senyum. Kali ini tidak seperti biasa, Kang Ali juga diam saja sambil senyum-senyum penuh arti.

Rembang, 2004
KH. A. Mustofa Bisri
From : www.gusmus.net

Selengkapnya.....

16 Oktober 2008

Doa Sulthonul Auliya' Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili 4

Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyanyang

Wahai Allah...
Sesungguhnya Aku memohon Kepada-Mu dengan keagungan Nabi Muhammad yang terpilih, dan Nabi Ibrahim yang memenuhi janji, dan dengan kehormatan setiap rasul, Nabi, Shiddiq (orang yang sangat benar), Wali, Syahid, juga Shalih (orang Saleh) dan taqiy (orang yang taqwa), dan dengan kehormatan nama-nama Agung dan dengan Asma’ kesemuanya

wahai Allah..........
aku mohon kepada-Mu, hapuskanlah makhluk-makhluk ini dari hati kami,
jadikanlah mereka didalam rahasia kami bagaikan debu diudara,
dan bimbinglah kami pada tuntunan para nabi-Mu dan para manusia pilihan-Mu serta orang-orang yang taqwa kepada-Mu baik secara sembunyi maupun nyata.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”

Selengkapnya.....

14 Oktober 2008

Menyongsong Perdamaian Dunia dengan Sufisme Islam

Dunia sufi, sebagai inti sari Islam, sebenarnya berpotensi besar untuk berkontribusi bagi terciptanya perdamaian dunia. Dengan menyelami sufisme, umat Islam diharapkan tidak lagi mencerna suatu masalah dari apa yang tampak di permukaan, tetapi dapat memandang segala sesuatunya dari sisi hakikat. "Melalui sufisme, manusia diajak untuk berserah diri secara total kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa," ujar KH Luqman Hakim (46), pembimbing dan pengajar dunia sufi di Jakarta.

Bagi sufisme, proses menjalani takdir kehambaan merupakan hal penting. Ketika nilai-nilai sufisme sudah dipraktikkan dalam diri, seseorang bisa menjadi semakin spiritualis. "Ia tidak lagi akan kaku di dalam memandang segala persoalan," tutur Kiai Luqman, yang juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Sufi serta jadi pengasuh majelis pengajian sufi di Jabodetabek. Kelenturan di dalam memandang suatu persoalan itulah yang pada akhirnya diharapkan dapat berkontribusi bagi upaya-upaya menciptakan perdamaian dunia.

SP berkesempatan berbincang dengan KH. Luqman Hakim di The WAHID Institute, seusai pengajian "Sufi Islam dan Perdamaian Dunia" yang diselenggarakan untuk menyambut ulang tahun ke-4 The WAHID Institute, Senin (8/9) malam.

Apa inti sari pengajaran di dunia sufi, berikut wawancara khusus SP dengan KH. Luqman Hakim, sang Pembimbing dan pengajar sufisme.

Mengapa tertarik menekuni sufisme?

Sufisme adalah pilihan yang tidak ditekuni banyak orang. Dunia sufi itu sebenarnya soal nucleus, yakni inti sari Islam itu sendiri. Spiritnya. Kami mencoba membangun sumber-sumber air yang lebih jernih di Jakarta sebagai wilayah perkotaan, supaya keterasingan seseorang dalam kehidupan per-kotaan tidak membikin dia kian gersang secara spiritual.

Ada ayat yang sering dikutip kaum pluralis, yakni, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Hujurat:13)".

Isilah li ta'arafu dalam ayat itu maknanya banyak sekali. Tetapi, dalam perspektif sufi, li ta'arafu bukan sekadar kenal-mengenal dan saling mencerdaskan, melainkan juga saling mengenalkan kemakrifatan Allah kepada sesama.

Untuk mengatasi kegersangan jiwa, apa yang bisa dilakukan dengan sufisme?

Ketika jiwa gersang, manusia sedang melesat keluar dari orbit spiritnya. Dia mencoba membangun kerajaan sendiri, atau planet-planet sendiri, di dalam hidup ini. Manusia kemudian terlepas dari fitrahnya.

Dunia sufi adalah dunia paling primordial dalam spirit dunia Islam, yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, yang kemudian disempurnakan para sufi. Saya hingga sekarang masih optimistis, nilai-nilai sufistik adalah nilai-nilai yang bisa mendamaikan dunia. Sebab, sufi memandang segala sesuatu tidak dengan kaku. Misalnya, kotoran bagi orang-orang syariat tentu dipandang sebagai najis yang harus disingkirkan. Tetapi, sufi tidak memaknai kotoran cuma dengan cara seperti itu. Bagi penganut sufisme, kotoran tidak semata-mata dipandang najis, tetapi bisa juga untuk pupuk.

Bisa disimpulkan sufisme memandang segala sesuatu tidak dari tampilan permukaan, tetapi dari hakikat?

Dalam wacana sufi ada pengungkapan yang berbunyi semacam ini, "Cahaya para sufi mendahului wacananya". Sementara itu, para ulama cenderung punya pendekatan, "Wacana para ulama dan cendekiawan mendahului cahayanya". Jadi, para sufi berpendapat, bukan karena adanya dorongan 'oh, enaknya saya berkata seperti itu' lalu ia berkata seperti itu, tetapi memang karena sudah seharusnya ia berbicara seperti itu.

Munculnya wacana menjadi bagian sistematik kosakata yang bergantung pada kebiasaan-kebiasaan intelektual seseorang. Kalau dia seorang penyair, kalimat-kalimatnya menjadi syair yang indah. Wacana hanya menjadi semacam screen.

Banyak ulama berpendapat, tasawuf hendaknya didalami jika telah memiliki fondasi syariat yang kuat. Anda sepakat?

Sufisme tidak melakukan pemosisian semacam itu. Manusia kenyataannya adalah satu kesatuan organisme, sehingga baik hakikat maupun syariat, harus berjalan berbarengan. Bagi sufi, manusia mempunyai aspek lahiriah dan batiniah. Apabila berpuasa, misalnya, kita harus ikhlas. Salat juga harus khusyuk. Bagi saya, sufisme berada di wilayah khusyuk, ikhlas, dan rela.

Mendalami sufisme tidak harus dihadapkan pada persoalan manakah yang harus didahulukan, apakah hakikat ataukah syariat. Maka, dibutuhkan seorang mursyid, sang pembimbing yang bisa menata perilaku pertumbuhan batin seseorang dengan Tuhannya, Allah. Di bawah bimbingan seorang mursyid, diharapkan tidak ada konflik antara pikiran dan hati.

Tetapi, bagaimana kita bisa mendalami hakikat sesuatu apabila syariat saja belum sempurna dilaksanakan?

Sepanjang manusia masih terikat ruang dan waktu, aspek lahiriah berupa pelaksanaan syariat memang harus semacam itu. Kalau manusia tidak kenal ruang dan waktu, oleh syariat dia tidak diwajibkan. Misalnya, orang gila, pingsan, atau tertidur, tidak diwajibkan salat.

Kesadaran ruang dan waktu pasti hubungannya dengan aspek fisikal. Tuhan mewajibkan orang salat karena manusia masih berada di dunia. Alam fisikal semesta ini bergantung pada orang salat. Tidak heran apabila ada ungkapan bahwa kiamat akan ditunda sepanjang ada manusia masih menyeru, "Allah, Allah, Allah!"

Salat berbentuk sujud dan rukuk karena memiliki makna-makna luar biasa yang berhubungan dengan gerak-gerik kosmologis dan astrologis, yaitu semesta raya ini. Kalau umat Islam sepakat, bahwa untuk selama satu jam seluruh umat Islam di bumi ini berhenti salat, saya yakin planet-planet di seluruh alam semesta ini akan bertubrukan. Sebab, salat memang aspek lahiriah yang harus ditunaikan. Sufisme itu sendiri hanya ingin mengantarkan, supaya ketika orang salat secara lahiriah, batin dia juga harus ikut salat.

Pencapaian apa yang diharapkan bisa diraih dengan mendalami sufisme?

Sufisme sebenarnya hanya untuk memosisikan kembali bahwa kita, manusia, adalah hamba dengan segala haknya, dan Allah adalah Tuhan dengan segala hak-Nya. Jadi, jangan sampai ada lagi pertanyaan ketika manusia menghadap Tuhan nanti. Sebab, ketika besok kita menghadap Allah, tidak akan ada lagi pertanyaan dari diri kita begitu sampai di hadapan Dia. Yang ada hanya "bengong abadi" dalam transformasi kenikmatan yang terus-menerus.

Penyadaran-penyadaran itu perlu mendekonstruksi cara pandang kemudian. Misalnya, mayoritas umat Islam selalu mengandalkan amal kebajikan. Seakan-akan amal kebajikan itu paspor untuk masuk ke surga. Dunia sufi membongkar hal-hal semacam itu. Dinolkan kembali. Jadi, yang diandalkan manusia itu seharusnya yang menciptakan amal kebajikan, yakni Allah. Yang diandalkan bukanlah amal kebajikan semata.

Penyerahan diri secara total kepada Tuhan apakah tidak cukup dilakukan dengan syariat?

Tidak. Ada kalimat Imam Maliki yang mengatakan, "Siapa yang melakukan syariat tanpa tasawuf, dia bisa fasik". Artinya, dia menjadi orang yang keras kepala, sombong, merasa paling hebat dan benar sendiri. Sebaliknya, "Siapa yang bertasawuf tanpa bersyariat, dia akan zindiq". Di situ, kehadiran Tuhan hanya dipersepsikan secara kebatinan belaka. Cuma semata-mata berbekal eling. Sufisme berupaya memosisikan kembali, bahwa jika manusia mengenal Tuhan itu Maha Esa, maka apa hubungan diri dia dengan keesaan Tuhan itu sendiri.

Saya berpendapat, sufisme mengalami penyimpangan kalau dia meninggalkan syariat. Memang, ada orang yang kelihatan tidak bersyariat. Tetapi, hal itu karena dia sudah melesat dari batasan batasan ruang dan waktu. Ada suasana ekstase. Tetapi, suasana ekstase itu pun merupakan proses, dan bukan sesuatu yang bersifat final.

Bagaimana sufisme Islam bisa berkontribusi bagi perdamaian dunia?

Sufisme adalah salah satu nilai yang kalau dipraktikkan seseorang, maka dia bisa semakin spiritualis apa pun profesinya. Sebab, di dalam sufisme, ada proses perlawanan terus-menerus terhadap diri sendiri. Dari sinilah seseorang membangun paradigma atau cara pandang hidup yang sering kali jadi berbeda.
Ada berbagai nilai yang ingin saya kembangkan dalam literatur-literatur komunitas sufi, misalnya "Doa lebih utama daripada dikabulkan", "Berjuang lebih utama daripada sukses", dan "Beribadah lebih utama daripada pahala". Sebab, orang-orang sering hanya mencari ijabah, pahala, dan sorga. Itu semua adalah nafsu. Bagi sufisme, yang terpenting adalah proses menjalani takdir kehambaan.

Dari sudut pandang sufisme, bagaimana Anda memandang umat Islam di Indonesia saat ini?

Ada posisi umat Islam di negara ini yang mirip orang "kebelet" mau ke kamar kecil. Saking tidak sabaran, ia menggedor-gedor pintu. Islam "kebelet" ini dengan modal pengetahuan dia yang sedikit tentang Islam, ingin agar segala sesuatunya selesai atas nama Islam.

Nah, setelah masuk ke bilik air, ada yang namanya Islam "ngeden" (mengejan, Red). Ia paksakan segala sesuatunya atas nama Islam, tetapi sesungguhnya itu nafsu belaka.

Para sufi sering kali menganjurkan anekdot itu. Ketika ingin menghadap Tuhan, jangan kita seperti orang "ngeden". Orang yang sangat ingin cepat selesai, kepingin instan. Ada ayat yang sering diklaim oleh para penganut Islam "kebelet" ini, yaitu "Masuklah Islam secara kaffah". Tetapi, bagi para sufi, lebih tepat jika anjuran yang disampaikan kepada manusia adalah "Masuklah ke dalam perdamaian secara total".

Mengapa konflik kekerasan banyak terjadi di negara-negara Islam, padahal tidak sedikit di antara mereka yang mengenal sufisme?

Harus diingat, perdamaian semu juga sedang berkembang pesat. Artinya, perdamaian hipokrit. Seakan-akan ada perdamaian. Ini sama halnya dengan demokrasi semu, yakni seakan-akan berdemokrasi. Di dunia Islam juga ada hal-hal semu semacam itu. Maka, saya cenderung menyebutkan, "Masuklah dalam perdamaian secara total", dan bukannya "Masuklah dalam Islam secara kaffah
(total, Red)".

Di sini, paradigma perdamaian dalam dunia sufi mengacu pada perilaku. Sebab, hal ini yang akan membangun sebuah peradaban atau kultur. Hal ini harus dibangun melalui pendidikan tentang hak-hak kehambaan. Sebab, dengan kesadaran hak-hak sebagai seorang hamba, manusia akan punya "perasaan memiliki", yang pada akhirnya memunculkan perasaan cinta secara terus-menerus bersama Tuhan. Melalui kebersamaan dengan Tuhan, kehidupan secara organis akan proporsional. Kalaupun terjadi sesuatu yang menyangkut tindak kekerasan atau antiperdamaian, semuanya akan diselesaikan dengan cara-cara seperti paradigma sufi.

PEWAWANCARA: ELLY BURHAINI FAIZAL
Suara Pembaruan, Ahad, 14 September 2008)


Selengkapnya.....

08 Oktober 2008

Bertemu Nabi Khidir ????

Sore itu sehabis adzan ashar tidak seperti biasanya supi’i pulang dari kerjanya, ia buru-buru untuk menghidupkan kendaraannya dan setelah itu dipacu dengan kecepatan sedang. Sebenarnya supi’i tidak tahu pasti kemana tujuannya untuk meninggalkan kantor tempat ia bekerja sebelum jam pulang kerjanya. Ia cuma menjalankan kendaraannya saja keliling-keliling kota, jalan, jalan dan jalan. Ia sendiri tidak tahu, kreteg dihatinya ia pingin pergi gitu aja. Ya sudah jadilah begini puter-puter nggak tahu artinya dan meng-ukur panjang jalan yang dilaluinya.

Tanpa sadar ia lihat arlojinya jam sudah menunjukkan pukul empat sore lebih, segera ia istighfar berkali-kali karena ia belum sholat ashar. Ia biasanya melakukan sholat ashar di kantornya. Kali ini supi’i sedikit sadar, segera ia berjalan lagi dan memacu kendaraannya dengan kecepatan yang sedikit lebih kencang dibandingkan tadi. Kali ini tujuannya jelas, ia harus mencari masjid untuk melakukan sholat ashar.

Hingga akhirnya ia sampai di pinggiran kota dan menemukan sebuah masjid tua. Masjid yang sederhana, tidak ada menara tetapi cuman kubah kecil yang diatasnya ada lafadz Allah. Sekilas memang nampak seperti rumah biasanya. Lafadz diatas kubah itulah yang menunjukkan bahwa itu sebuah masjid. Segera supi’i memarkir kendaraannya. Sekali lagi ia pandangi masjid itu dari tempat ia memarkir kendaraannya. Ia pejamkan matanya, aneh begitu damai supi’i rasakan. Ia merasakan begitu masjid itu sangat bercahaya.

“Bismillahir rohmannir rohiim”, mantap supi’i menuju masjid. Ia tata sandal terbalik seperti yang diajarkan di PETA (maklum Supi’i selalu teringat kata-kata yang ditulis ditembok depan Musholla PETA “Yen kepingin noto ati, totonen ...... sandal, baqiyak, sepatumu disik ; iki contone”). Ketika berdiri setelah menata sandal itu supi’i semakin terkejut dengan datangnya seseorang tua berpakaian putih dan bersarung hijau dari dalam masjid menuju serambi untuk menyambut dirinya. “Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh, Alhamdulillah nak supi’i sudah sampai. “wa wa wa alaikumus salam”, jawab supi’i kaget. Dalam hatinya ia bertanya-tanya siapakah beliau hingga tahu namanya segala. Sungguh supi’i sama sekali belum mengenal orang itu. Apalagi beliau seperti memang menunggu kedatangannya. “Ayo nak supi’i itu tempat wudlunya cepat wudlu entar keburu asharnya habis. Bapak tunggu didalam masjid ya”. “baik pak”, jawab supi’i.

Segera supi’i pergi ke tempat wudlu, tempat wudlunya pun sangat sederhana. Tidak ada kran air yang ada cuman kolam besar 3 kali 2 meter yang dipakai bersama-sama untuk berwudlu. Segera supi’i berwudlu dia berniat wudlu untuk menghilangkan hadas kecil karena Allah. Meskipun supi’i masih punya wudlu (Supi’i selalu mendawamkan batal wudlu ajaran PETA) tetapi supi’i selalu memperbarui wudlu ketika akan melakukan sholat.

Setelah berdo’a sehabis wudlu segera supi’i menuju ke dalam masjid untuk menghadap bapak tua itu. Tampak jelas sekali masjid itu sangat sederhana sekali. Dindingnya bercat putih sedikit kusam, lantainya bukan dari keramik apalagi pualam atau marmer tetapi dari ubin yang berwarna kuning, bahkan ada bagian lain ubinnya sudah hilang dan cuman di tambal dengan semen aja. Sambil berjalan supi’i pandangi bapak tua itu. “Subhanallah” dalam hatinya supi’i merasakan bapak tua itu wajahnya sangat bercahaya. Mungkinkah cahaya masjid ini berasal dari wajah bapak tua itu ?

“Silahkan nak supi’i sholat dulu disamping bapak, kalau bapak sih sudah sholat ashar tadi. Setelah Sholat ashar itu, bapak tua itu kemudian berkata, “Nak sekarang mari kita berdo’a dan nak Supi’i tinggal mengamini saja”. “baik pak” jawab supi’i. Setelah berdoa itulah kemudian bapak tua memegang dada supi’i sambil berkata “kamu harus sabar..., kamu harus sabar...., kamu harus sabar ya...., setelah itu bapak tua tadi meletakkan jempol tangan kanannya ke langit-langit mulut supi’i yang sebelumnya ditempelkan dari langit-langit mulutnya. Supi’i cuma bisa menurut saja apa yang dilakukan oleh bapak tua tadi terhadap dirinya. Setelah itu bapak tua tadi berdoa lagi dan supi’i pun turut mengamininya hingga selesai. Setelah itu bapak tua itu berkata kepada supi’i : “ kamu harus sabar ya...., istiqomah ya..., sekarang nak supi’i segera pulang karena hari sebentar lagi menjelang malam. “baik bapak terima kasih atas semuanya” sambil kemudian supi’i mencium tangan bapak tua itu untuk berpamitan. Terasa halus sekali tangan bapak tua itu seperti halusnya kulit bayi, guman supi’i. “assalamu’alaikum” kata supi’i. “Wa alaikumus salam warohmatullohi wabarokatuh” jawab bapak tua itu.

Supi’i pun segera berdiri untuk pulang, sesampainya di serambi masjid diapun kembali lagi karena penasaran dan pingin bertanya kepada bapak tua itu siapakah sebenarnya Beliau. Tetapi ketika dilihat sekeliling ruangan masjid dia tidak menemukannya, bahkan tidak ada seorangpun didalam masjid itu kecuali dia. Kemana perginya bapak tua itu dia gak tahu, datang tiba-tiba dan hilangnyapun tiba-tiba. Supi’i cuma bisa menerka-nerka bapak tua itu. Mungkinkan seorang waliyullah, atau mungkinkan malaikat, atau mungkin juga nabi khidir yang selalu ditawasulinya setiap hari minimal tiga kali ketika membaca aurod syadziliyah ? Wallahu ‘alam bishowab.

Selengkapnya.....

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template